Patriotisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah; sikap seseorang yang bersedia mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya; semangat cinta tanah air
Patriotisme dalam pengertiannya banyak ditujukan pada jaman peperangan, pertempuran secara fisik, pembelaan atas negara secara frontal dan biasanya berasosiasi dengan militer. Sejatinya, tidak melulu pada waktu peperangan atau pada saat kita merasa ternoda oleh negara lain kita dapat melakukan tindakan patriotisme. Pada saat sekarang, dimana ‘ekonomi’ menjadi war-field baru, tindakan patriotisme kita sangat diperlukan. Bahkan kadang, secara sangat mencolok, aroma perang ekonomi saat ini, sudah sangat menonjol didalam pemberitaannya.
Inilah contoh-contoh patriotisme ekonomi. Didalam dunia penerbangan, Amerika sangat mengandalkan Boeing yang diproduksi di Everett – Seattle Amerika untuk armada jet komersialnya, sedangkan Eropa mengusung Airbus yang bermarkas di Toulouse Perancis, dan yang banyak terlupakan walaupun mempunyai nilai agregat ekonomi sangat besar, negara Blok Timur atau Komunis pada era perang dingin, tetap mengandalkan produk keluaran BUMN Ukraina, Antonov.
Ratu Elizabeth II dari Inggris mengandalkan pesawat Bae-146 buatan British Aerospace sebagai salah satu pesawat kepresidenan untuk menunjukkan patriotismenya. Suatu kejadian nyata, jika perusahaan perminyakan Total (Perusahaan Migas Perancis) mempersyaratkan produk Eurocopter buatan Perancis pada tender pengadaan transportasi di semua negara dimana Total beroperasi. Itulah contoh patriotisme ekonomi yang dilakukan oleh suatu pemerintah untuk melindungi produk negaranya dimana ujung-ujungnya adalah untuk melindungi perekonomian negaranya.
Bagaimana dengan Indonesia? Ketika Habibie sangat getol menyuarakan kemandirian teknologi bagi bangsa Indonesia, kelihatannya hanya bertepuk sebelah tangan saja. Produk buatan PT Dirgantara Indonesia (PTDI, dahulu PT IPTN) dipandang sebelah mata oleh bangsa Indonesia sendiri. Salah satu produk PTDI misalnya adalah CN-235, banyak tatapan sinis pada produk ini, dimana seharusnya opini-opini itu harus bersifat dukungan bukan malah hinaan. IPTN misalnya sering diplesetkan dengan Industri Penerima Tamu Negara, dan sebutan Tetuko pada CN-235 menjadi akronim dari sing teko gak tuku-tuku, sing tuku gak teko-teko. Juga ketika CN-235 diimbal beli dengan ketan dari Thailand, yang banyak pihak secara naif menganalogikan teknologi tingkat tinggi ditukar dengan sesuatu yang ‘tidak’ berteknologi. Padahal imbal beli seperti itu sangatlah biasa dalam hubungan komersial.
Seandainya kita mendukung upaya penuh dari PTDI, memakai produknya dan ikut memasarkannya, tentulah PTDI sekarang akan semakin kuat. Akan ada produk-produk baru yang dikeluarkan sebagai hasil dari penelitian dan pengembangannya. Produknya akan semakin berkembang, bukan hanya untuk pesawat angkut kecil, tapi juga akan meningkat dan juga sangat mungkin pesawat tempur.
Pabrik pesawat terbang sebenarnya adalah ‘tukang jahit’ dari beragam teknologi yang ada didalam pesawat itu. Yang dilakukan oleh sebuah pabrik pesawat terbang adalah mendesain sesuatu pesawat yang disesuaikan dengan kebutuhan, kemudian mengatur didalamnya ribuan part dan komponen yang mendukung tercapainya kinerja yang dibutuhkan. Part dan komponennya sendiri tidak diciptakan dari pabrik pesawat tersebut. Peralatan hidrolik, pneumatik, elektrik, instrumen, mesin penggerak dan lainnya merupakan buatan pabrik lain dan dari negara lain juga. Seperti misalnya mesin pesawat buatan Rolls Royce atau Pratt & Whitney, instrumen pesawat buatan Rockwell Collins ataupun Hamilton Sundstrand, Ban pesawat dari Good Year atau Michelin dan sebagainya. Pabrik pesawat terbang mendesain dan mensinergikan semua peralatan tersebut sehingga menjadi suatu kesatuan: Pesawat Terbang.
Dengan mempunyai Pabrik Pesawat Terbang, Indonesia menaikkan nilai tawarnya terhadap negara lain yang juga produsen peralatan canggih. Dan akan tercipta saling ketergantungan antar negara tersebut sebagai hubungan yang sejajar, bukan hanya menjadi konsumen murni dari produk canggih, yang kedudukannya sangat mudah dipermainkan.
Atau gak usah jauh-jauh ke produksi pesawat terbang yang sarat teknologi canggih. PTDI juga pernah berniat mengembangkan proyek Mobil Nasional dengan nama proyek Maleo. Proyek setengah hati itu juga gagal seiring dengan kejatuhan Presiden Soeharto dan intrik politik mobil nasional Timor.
Negara maju, ‘tidak rela’ Indonesia berkembang, sehingga mereka pelit kepada teknologi. Prinsipal mobil dan motor tidak rela pasar mereka di Indonesia digerogoti. Dengan konsumsi Indonesia untuk mobil yang tahun 2010 mencapai 600.000 unit dan motor yang mencapai 7.000.000 unit, dimana angka-angka tersebut semakin meningkat signifikan tiap tahun, mereka para produsen motor dan mobil dunia ‘setengah hati’ membantu Indonesia ‘mandiri’.
Patriotisme Ekonomi juga ditunjukkan oleh negara-negara maju yang sangat monopolistik dan menerapkan aturan-aturan yang ketat. Juga negara maju menekan negara berkembang agar selalu jadi konsumen dan tergantung kepada mereka. Negara maju yang penduduknya relatif tidak terlalu banyak akan selalu membutuhkan pasar untuk melemparkan produknya dan mempertahankan kemakmurannya.
Ingat kasus larangan terbang pesawat Garuda ke Eropa? Disamping faktor teknik, faktor politik lebih dominan didalam penerapan aturan tersebut. Eropa boleh saja mengatakan bahwa mereka mempunyai standarisasi penerbangan sendiri (JAR merupakan regulasi dan standarisasi penerbangan Eropa yang merupakan singkatan dari Joint Aviation Authorities Regulation), tetapi bukankah penerbangan Indonesia sudah mengikuti standar dari Amerika (FAA). Dan bukankah juga Garuda Indonesia didalam perawatan pesawatnya sudah dirawat oleh bengkel perawatan dengan standar internasional pula?
Dan alasan politis terbukti lebih menonjol, setelah Garuda Indonesia memperkuat armadanya dengan pesawat Airbus A320, kemudian bisa mengudara lagi di Eropa, yang kemudian disusul dengan Batavia dan Mandala Airlines dimana keduanya juga mempunyai armada Airbus.
Negara maju selalu mendengung-dengungkan dengan istilah Standarisasi, Zona Perdagangan Bebas (Free Trade Area) dan Kompetisi Sehat yang pada dasarnya merupakan ‘hambatan’ yang dibuat untuk negara produsen baru dan disatu sisi juga untuk melindungi pasar domestiknya.
Standarisasi Internasional (ISO, Euro, dan Standarisasi lainnya) selalu didasarkan kepada produk mereka yang telah lebih dahulu hadir dan tentunya lebih maju, bukan pada kebutuhan pasar atau konsumen. Standarisasi itu dibuat untuk menciptakan ‘hambatan yang sempuna’ terhadap masuknya produk dari negara lain dengan berdalih ‘untuk perlindungan terhadap konsumen’.
Terkesan ironis sekali, ketika mengetahui bahwa banyak lampu pesawat yang digunakan dibuat di Indonesia (dibuat oleh PT Phillips Indonesia, perusahaan PMA), tetapi karena alasan standarisasi, produk tersebut tidak dapat langsung diperjualbelikan kepada operator pesawat terbang, tetapi harus melalui standarisasi dari FAA (Amerika), baru kemudian dijual kepada konsumen akhir.
Bukan hanya itu, kemudian standarisasi itu disosialisasikan oleh badan internasional dari UN seperti WTO yang pada dasarnya juga merupakan corong dari negara maju tersebut. Standarisasi tersebut kemudian diperlakukan terhadap semua negara anggota UN yang tentu saja akan menguntungkan bagi negara maju yang produknya telah memenuhi standarisasi tersebut.
Bahkan kadang secara kasar dan terang-terangan Badan Dunia seperti IMF memaksakan kehendaknya kepada negara berkembang. IMF dan Bank Dunia seperti yang umum diketahui dikuasai oleh Amerika (Bank Dunia/World Bank) dan Eropa (IMF). Ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi pada tahun 1997, bantuan dari IMF diberikan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan yang menguntungkan bagi pihak IMF (yang notabene dikuasai oleh Negara Maju Eropa) yang tertuang didalam Letter of Intent (LoI).
LoI tersebut sudah jelas merupakan intervensi atas kemandirian ekonomi dan pemaksaan untuk memakai produk mereka. Carrefour yang merupakan raksasa ritel Eropa merupakan salah satu isi dalam Letter of Intent IMF, dan masuk ke Indonesia dengan dalih Indonesia harus membuka pasarnya bagi dunia, menuju perdagangan bebas dunia. Dan tahu akibatnya, ribuan pedagang dipasar-pasar tradisional menjerit karena pangsa pasar mereka ditelan oleh raksasa Eropa.
Bahkan Habibie-pun jelas-jelas menampakkan kegusarannya ketika IMF memerintahkan agar proyek N-250 dari PTDI dibekukan, dan dikaitkan dengan LoI bantuan IMF untuk penyelamatan krisis Indonesia ditahun 1997-1998. Proyek N-250 merupakan proyek pertama yang murni merupakan hasil karya anak bangsa didalam bidang rekayasa pesawat, tidak seperti CN-235 yang merupakan kerjasama dengan Casa Spanyol. PTDI memilih untuk merancang pesawat ini, karena memang pesawat ini merupakan tipe pesawat dengan permintaan tertinggi. Pesawat N-250 berkapasitas 50 penumpang dan satu-satunya dikelasnya yang menggunakan teknologi fly by wire. IMF menghentikan proyek ini dengan berdalih bahwa proyek seperti ini belum saatnya bagi Indonesia dan merupakan proyek yang padat modal, padahal ‘alasan sebenarnya’ adalah, karena ATR, perusahaan patungan Italia – Perancis mempunyai pesawat pesaing sejenis yaitu ATR 42. Pesawat lain yang sejenis adalah buatan Fokker Belanda yaitu tipe F-50, tetapi seperti diketahui Fokker sudah in memoriam terlebih dahulu. Dan terbukti, pesawat ATR 42 sekarang merajai pangsa pasar pesawat jenis 50 penumpang ini, sementara, lagi-lagi, Indonesia gigit jari, dikibulin!!
Masihkah kita menganggap semua ini bukan sebuah peperangan?
Apa yang bisa dilakukan oleh kita bangsa Indonesia? Janganlah meratap dan berteriak-teriak dengan mengatakan apa yang dilakukan oleh bangsa-bangsa maju itu sebagai tindakan yang tidak adil. Karena apa yang mereka lakukan adalah sangat manusiawi, karena bagaimanapun juga, mereka harus mempertahankan kemakmuran bangsanya sendiri.
Bangunlah kemandirian bangsa. Kalau memang sudah bisa dihasilkan oleh bangsa sendiri, banggalah untuk membeli dan memakainya. Janganlah bangga dengan merk asing dan bahkan menghina merk bangsa sendiri. Ingatlah, bahwa dibalik kebanggaan kita untuk memakai produk dalam negri, tersimpan jutaan tenaga kerja yang hidup dan berkembang didalamnya. Mereka ada disekitar kita, karena mereka adalah bangsa kita sendiri.
Setuju sekali. Cara memulai adalah dg memakai produk dlm negeri. Produsen dalam negeri sdh setara mutu dan kwalitas dg produsen licensed luar negeri baik utk alat elektronik, kebutuhan rumah tangga spt sabun, shampoo dll, termasuk obat2an.
A Shiyam
BaherbA.blogspot.com
Yah, mulai dari diri sendiri dan mulai dari hal yang kecil… Thinks globally, act locally!
Ping balik: Jika akhirnya Jokowi lagi… | An Odyssey