Bali termasuk bagian dalam sejarah hidupku. Meskipun hanya tinggal menetap kurang dari 8 bulan di Bali (Kuta dan Denpasar), ada banyak kisah yang tak terlupakan, sebagian (orang mengatakan) sebagai kisah sedih, tetapi saya sangat ‘menikmatinya’, banyak hal baru yang tak ternilai, membekas didalam jiwa dan menjadi batu loncatan menuju kehidupan baru yang lebih mempunyai dinamika.
Saya menetap di Bali ketika bekerja di PT Air Paradise International (API). Perusahaan penerbangan swasta nasional yang dimiliki pengusaha lokal Bali dengan rute andalan Bali – Australia.
Tanggal 17 September 2005, saya mendarat di Bandara Ngurah Rai untuk memulai kerja di Bali. Tanggal 1 Oktober 2005, 14 hari setelah kedatangan saya di Bali untuk bekerja, terjadi tragedi Bom Bali II, yang juga memutar balikkan kehidupan saya. Tanggal 23 November 2005, PT API, tempat saya bekerja, menyatakan tutup operasi, akibat dari sepinya penumpang sebagai imbas dari Bom Bali II. Sejak itulah, dimulailah status pengangguran bagi saya disandangkan. Dan tanggal 23 April 2006, saya meninggalkan Bali, kembali kerja ditempat yang baru di Jakarta.
Dan kemudian, tanggal 16 April 2011, setelah lima tahun meninggalkan Bali, saya dengan beberapa temen kantor kembali ke Bali. Mengingatkanku kepada tonggak-tonggak bersejarah selama saya menetap di Bali. Juga membuat saya menerawang jauh, menelusuri kilas balik perjalanan karirku.
Awal karier saya selepas kuliah adalah di PT Dirgantara Indonesia (dahulu PT IPTN atau Industri Pesawat Terbang Nusantara) Bandung. Tidak terlalu lama, hanya 6 bulan persis bekerja di PTDI. Terhitung mulai tanggal 2 Januari 1997 sampai dengan 30 Juni 1997 (saat peralihan kekuasaan Hongkong Hands Over dari Inggris ke China).
Yang bisa saya petik dari PTDI adalah, pabrik pembuat pesawat terbang ini memang canggih. Terasa geliat semangat belajar dari sebuah negara berkembang Indonesia, untuk mengejar ketertinggalannya dengan negara maju. Sayang, lebih banyak tatapan sinis ditujukan bangsa sendiri terhadap industri ini. Dan nyatanya, sampai sekarang, ketertinggalan Indonesia di bidang teknologi sangatlah parah. Ketergantungan terhadap produk canggih dari luar negeri seperti peralatan pabrik, persenjataan, kedokteran, otomotif, transportasi semakin bertambah.
Sejak 1 Juli 1997, saya menjalani pendidikan Management Trainee di PT Merpati Nusantara Airlines. Perusahaan plat merah yang fokus ke layanan transportasi udara dan terkenal dengan penerbangan perintisnya didaerah-daerah pelosok di penjuru Indonesia, sesuai dengan slogan yang disandangnya ‘Jembatan Udara Nusantara’.
Seleksi mengikuti pendidikan Management Trainee di PT MNA, luar biasa ketat!!. Seperti yang diakui sendiri oleh manajemen MNA waktu itu (yang dikomandani oleh Dirut Budiarto Subroto), sesuai dengan semangat pembaharuan yang diusung oleh manajemen MNA, rekruitmen Management Trainee (MT-MNA) yang diadakan waktu itu merupakan rekruitmen terbuka pertama yang diadakan oleh manajemen MNA. Terbuka dalam artian disiarkan secara luas di media nasional, dan juga dijamin prosesnya sangat transparan.
Ada sekitar (sampai lupa-lupa ingat) tujuh tahapan seleksi, yang semuanya memakan waktu sekitar 6 bulan. Yang membuat sekitar 3000-an kandidat menjadi hanya 27 orang yang lolos seleksi. Terima kasih ya Allah, saya termasuk didalam 27 orang tersebut. Sebagian mentor pendidikan MT kami, menjuluki squad yang lulus seleksi MT ini dengan julukan ‘The Twenty Seven Magnificent’, julukan yang membuat kami bangga dan semangat, hehehe.
Proses pendidikan MT berlangsung selama sekitar 9 bulan. Materi pendidikannya sangat beragam, mulai dari manajemen teknik perawatan pesawat, kepemimpinan, keuangan sampai cara mengikat dasi yang baik. Misi dari pendidikan MT ini adalah penciptaan pemimpin masa depan yang visional, yang juga dapat menjadi agen perubahan disetiap bagian dimana ia ditempatkan, hehehe, jadi pantaslah kalo pendidikan etiket juga diajarkan.
Hal utama yang ditekankan dalam pendidikan MT bukan hanya mencetak kader yang ‘pandai’, tetapi juga yang ‘pandai-pandailah’, bukan hanya yang ‘merasa bisa’, tetapi ‘bisa merasakan’. Juga ditekankan team work dan empathy dalam bekerja. Sangat terasa mudah diucapkan, tetapi kudu sering diingat-ingat agar selalu terpatri dalam dada sehingga diterapkan dalam dunia kerja.
Dengan karyawan sekitar 3600 orang waktu itu, dan jumlah pesawat mendekati 100 (sekitar 97 pesawat, kalau gak salah ingat) dan destinasi lebih dari 100 kota di Indonesia, BUMN MNA memang menjalani suatu usaha yang sangat komplek.
Saya banyak belajar selama di MNA. ‘Enaknya’ kerja di BUMN adalah disiplin untuk pencapaian kerja yang lemah. BUMN juga merupakan tempat untuk bereksperimen dan berwacana dengan bebas. Bagi orang yang kreatif, dalam batas waktu tertentu, keadaan ini sangatlah menyenangkan. Orang yang pro-aktif dalam BUMN, gak bakalan kehabisan kerjaan. Sebaliknya, bagi orang yang pasif dan malas, di BUMN juga memberikan perlindungan yang nyaman dan aman, boss juga gak akan ‘terlalu’ marah, hehehe.
Setelah delapan tahun kerja di MNA, terasa adanya suatu kebosanan. Banyak pekerjaan di beberapa bagian yang telah saya tangani. Dan apresiasi yang diberikan perusahaan terhadap hasil kerja sudah terasa tak sepadan, sementara perusahaan diluar dapat memberikan gaji lipat dua bahkan lebih. Wewenang yang diberikan juga gitu-gitu aja, artinya secara struktural, tidak ada kenaikan jabatan yang signifikan. Dari segi perusahaanpun, Merpati tidak lagi berkilau, kalah saingan dengan airline baru yang banyak bermunculan.
Bagi jiwa yang tidak sabar menanti dan juga dimana kapabilitas sudah terasa melebihi kewenangan yang dimiliki, BUMN memang menjadi tempat yang sangat membosankan. Saya memutuskan untuk pindah kerja dari Merpati.
Bagaimanapun juga, Merpati banyak memberikan arti dalam hidup saya. Banyak orang hebat yang ada dalam Merpati, dimana didalamnya saya bisa berguru.
Suatu kali, saya sangat ingat, ketika saya dimarahi oleh Bp Ari Supranoto karena terlambat masuk kelas pendidikan. Bukan karena marahnya yang saya ingat (kalau pendidikan sih biasa, udah kebal dimarahi, hehehe), tetapi alasan yang ia katakan. Beliau berkata waktu itu ‘Kamu itu tidak bersikap amanah, merugikan negara dan rakyat Indonesia, karena Merpati ini perusahaan BUMN, yang merupakan milik rakyat Indonesia’. Bener, kata – Amanah, Merugikan dan Rakyat Indonesia -, yang diucapkan oleh Pak Ari begitu sangat sakti dan ajaib bagi saya waktu itu. Yang membuat saya membatin untuk tidak mengulanginya lagi. Saya belajar tentang disiplin!
Suatu kali pula, ketika bu Ade T Christianti, General Manager Merpati Training Center (MTC) waktu itu, boss saya, dalam briefing rutin Jumat, menyampaikan tentang contoh suatu profesionalitas. Beliau bercerita tentang seorang pejabat Merpati, yang habis-habisan bernegosiasi, untuk kepentingan dan keuntungan Merpati, padahal hari itu merupakan hari terakhir ia bekerja, karena besoknya ia sudah pensiun. Saya terharu dan tersentuh mendengarnya. Saya belajar tentang pantang menyerah, determinant, all out!
Dari bu Ade saya banyak belajar disamping juga banyak dimarahi, hehehe. Beliau sangat pantang mendengar telpon berdering lebih dari tiga kali tanpa ada yang mengangkatnya, jadi kita semua rebutan untuk mengangkatnya, MTC menjadi bagian yang paling responsif di Merpati, ngalahin call center-nya Merpati sendiri kali, hehehe. Beliau memang customer oriented banget, sangat peduli dan memperhatikan lawan bicara. Saya ingat ketika beliau marah besar kepada saya, karena saya waktu itu tidak acuh mendengarkan ketika ia bicara, saya membenarkan beliau memarahi saya. Dan saya biarkan agar ‘luka’ itu terus membekas, sehingga saya selalu ingat untuk memperhatikan lawan bicara.
Beliau juga pemimpin yang tidak jaim. Tidak ingin terlihat tampil luar biasa atau serba bisa, yang beliau tampilkan justru semangat berbagi dan kerjasama tim, empati, juga pendelegasian dan kepercayaan (trust). Salah satu prinsip yang ia junjung adalah bahwa ‘Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu mencetak pemimpin yang baik pula’. Dengan prinsip itu, ia memberikan kepercayaan dengan pendelegasian kepada anak buahnya. Anak buahnya dirangsang untuk kreatif dan selalu berpikir. Dari situ saya belajar, bahwa kepercayaan akan menimbulkan kepercayaan.
Dan juga ketika sering malam-malam saya lembur dengan bapak Yunus Dzulisnain, General Manager Technical Procurement. Mengerjakan proposal penurunan harga untuk sebuah quotation dari vendor yang kebanyakan dari negara luar. Banyak dibutuhkan referensi dan mendengar serta mengolah pengalaman langsung dilapangan, sebelum dituangkan dalam proposal penurunan harga kepada vendor. Malam-malam blusukan di perpustakaan untuk mencari referensi menjadi hal yang sangat biasa. Juga technical meeting dengan orang lapangan sangat sering dilakukan. Semua itu dilakukan untuk mendapatkan proposal yang baik. Dengan demikian, proposal kita akan disegani dan penurunan hargapun biasanya juga akan banyak diberikan, disamping vendor juga akan segan untuk mempermainkan harga kepada kita. Saya belajar tentang detail dan kerangka berpikir.
Itulah sebagian kecil kisah selama di Merpati yang saya alami. Sangat berat rasanya hijrah setelah delapan tahun bersamanya.
Sejak 31 Agustus 2005, saya sudah tidak di Merpati lagi. Tetapi mengingat banyaknya tugas yang harus saya serah-terimakan, hari terakhir saya kerja di Merpati pada tanggal 9 September 2005.
Berangkat ke Bali untuk kerja ditempat yang baru, PT Air Paradise International, pada hari Sabtu, tanggal 17 September 2005. Dan tanpa dibayangkan sebelumnya, terjadi peristiwa Bom Bali II yang meluluhlantakkan Raja’s Bar di Kuta Square dan juga restoran di Jimbaran, pada tanggal 1 Oktober 2005.
Tidak terjadi eksodus besar-besaran turis asing keluar dari Bali, seperti halnya pada waktu peristiwa Bom Bali II. Yang terjadi adalah, penurunan jumlah wisatawan dan ribuan penundaan serta pembatalan kunjungan turis asing. Dan Air Paradise kena getahnya.
Di Bali, turis asal Australia sangat mendominasi. Bali bagi mereka adalah rumah kedua. Bagi turis Australia, berwisata ke Bali jauh lebih murah daripada mereka berwisata didalam negerinya, Australia, sendiri. Peluang ini dimanfaatkan oleh Air Paradise, yang melayani rute penerbangan dari kota-kota di Australia: Melbourne, Perth, Sydney, Adelaide dan Brisbane langsung menuju Denpasar Bali.
Di Air Paradise, saya hanya dua kali menerima gaji penuh, Okt dan November 2005. Setelahnya, sampai saya meninggalkan Bali bulan April 2006, hanya seperempat gaji yang saya terima. Bulan-bulan setelah Air Paradise menghentikan kegiatan operasionalnya, diisi dengan kegiatan perjuangan menuntut hak karyawan, mencari kerja baru dan tentunya jalan-jalan menikmati Bali (walau dengan suasana yang pilu, karena pengangguran, hehehe).
Menjadi tokoh pergerakan menuntut hak karyawan, mengisi banyak aktivitas saya di Bali, bener-bener hal yang tidak terduga sebelumnya. Boleh dikatakan bahwa saya adalah orang yang paling dirugikan dengan penutupan operasional Air Paradise ini. Baru dua bulan kerja, dan merupakan karyawan yang paling baru di Air Paradise, kemudian di PHK dengan pesangon yang tidak jelas akan dibayar kapan.
Pengalaman yang sangat mengesankan, karena sebelumnya saya tidak pernah peduli dengan hal yang sifatnya non teknis seperti pergerakan ini!
Pergerakan menuntut hak akhirnya membuahkan hasil juga. Walau tidak dibayar penuh, perusahaan memberikan gaji bulanan seperempat dari yang seharusnya didapat dalam kondisi normal. Juga, ketika saya telah mendapatkan pekerjaan, pergerakan tetap diteruskan sampai ke Pengadilan Hubungan Industrial, dimana keputusannya memenangkan tuntutan kita. Tetapi di Pengadilan tingkat banding, kemenangan itu kandas, dan hakim membenarkan keputusan dari Pengusaha. Untuk melanjutkan ke tingkat Kasasi di Mahkamah Agung, teman-teman sudah kehabisan energi, karena sudah tidak ngumpul lagi di Bali, kebanyakan sudah bekerja di berbagai tempat yang baru.
Menjadi pengangguran di Bali, sungguh saya ‘sangat menikmati’. Inilah anugerah istirahat terlama yang bisa saya nikmati. Saya bisa jalan-jalan menelusuri Bali, sambil tetap konsentrasi untuk mencari kerja baru. Seminggu tiga kali saya rutin jogging di lapangan Renon – Denpasar.
Bali memang indah, ada banyak tempat yang eksotik disana. Kuta, Sanur, Dreamland, Tanah Lot, Nusa Dua, Ubud, Monkey Forest, Besakih, Istana Tapak Siring, Goa Gajah, GWK, Uluwatu, Jimbaran, Kintamani, Bedugul, dan banyak tempat lainnya, memang tidak rugi untuk dikunjungi.
Bagi saya dan Mami (panggilan sayang saya pada isteri saya), Bali banyak menimbulkan kenangan didalamnya. Tempat yang indah yang dinikmati dalam suasana keprihatinan setelah di-PHK.
Dan pada saat saya kembali ke Bali pada tanggal 16 April 2011, lima tahun kemudian, kenangan itu muncul kembali, sangat indah terasa. Saya masih menyimpan keinginan, untuk dapat kembali berlibur ke Bali dengan Mami. Insya Allah terwujud!