Lagi muncul istilah baru untuk mengungkapkan kondisi negeri tercinta kita ini dengan istilah Negeri Auto Pilot.
Istilah tersebut untuk menggambarkan kekesalan dari banyak masyarakat karena mereka tidak merasakan kehadiran peranan pemerintah dalam banyak permasalahan krusial disemua bidang. Pemerintah yang seharusnya mengambil peranan penting, justru dirasa cuek bebek saja dan masyarakat harus menangani permasalahannya sendiri berbenturan dengan masyarakat lain atau dalam kondisi tertentu, masyarakat harus membayar (bener-benar dalam arti harfiah: membayar dengan uang!!) untuk mendapatkan kenyamanan dan keamanan hidup.
Banyaklah contoh untuk dapat diambil sebagai pengukuhan dari kekesalan diatas. Kasus Mesuji yang seakan tenggelam, Kasus Bima yang juga berakhir dengan harga yang mahal dan memberikan pelajaran bagi investor untuk berpikir ulang jika mau investasi di Indonesia, kasus GKI Yasmin yang berlarut-larut, yang karena ketidak-tegasan pemerintah, sistem yang bisa dipelintir dan ketidakpuasan masyarakat disatu sisi, kasus FPI, ormas yang terpaksa turun ke jalan karena aparat yang berpangku tangan, berusaha menegakkan ‘aturan’ sehingga timbul pengadilan jalanan yang dilematis, belum lagi banyak kasus mega korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara yang penyelesaiannya masih menimbulkan tanda tanya.
Tiap hari masyarakat dapat mendengar dan melihat hal itu, bahkan secara live melalui banyak media massa. Menimbulkan rasa muak, dan melihat semuanya seakan tidak ada yang bisa dipatuhi lagi dan semua seperti berjalan dengan sendirinya tanpa terkendali. Jadilah kekesalan itu terangkum dalam sindiran “Negara Auto Pilot”.
Kembali ke penggunaan kata autopilot. Kata tersebut akronim dari automatic pilot, yang merupakan suatu peralatan atau system navigasi yang biasanya terdapat pada kapal atau pesawat terbang untuk dapat membuat kapal atau pesawat tersebut tetap terbang dengan sendirinya pada kondisi tertentu.
Dengan autopilot akan membuat banyak pekerjaan pilot diambil alih oleh system navigasi tersebut. Dan semakin lama, system autopilot semakin canggih, bahkan pada beberapa hal menyaingi human pilot karena keunggulannya yang tidak pernah lelah dan lebih ‘akurat’.
Kelihatannya sederhana, karena teknologi memang dibuat untuk mempermudah manusia. Pilot hanya menekan tombol autopilot (cruise control) yang membuat pesawat akan berjalan dengan sendirinya tanpa campur tangan berlebih dari sang pilot. Padahal dibaliknya, system autopilot itu merupakan integrasi dari system mekanikal, elektrikal dan juga hydraulic yang rumit yang bekerja secara sinkron dan harmonis dan mewujud menjadi satu tombol ‘Autopilot’.
Autopilot-lah yang membuat indikator ketinggian, suhu dan tekanan juga arah menjadi terintegrasi dan memberikan perintah pada rudder, elevator dan aileron pada pesawat untuk bergerak sesuai dengan kondisi yang ada dan target yang telah ditetapkan.
Dengan kata lain, sejatinya, autopilot tidaklah ‘berjalan dengan sendirinya’, ia bisa terwujud karena telah adanya integrasi dari berbagai system yang rumit yang telah melalui rangkaian banyak pengujian. Dengan analogi yang sama, sesuatu akan lebih mudah terlaksana apabila sebelumnya telah terencana dengan baik. Darah yang keluar pada waktu peperangan jauh akan lebih sedikit apabila kita banyak berpeluh pada waktu masa damai.
Sistem yang telah mapan akan membuat komponen dalam system itu bekerja dengan sendirinya. Itulah sistem autopilot. Figur pilot tidak terlalu berperan karena telah tergantikan dengan kerja sistem yang telah mapan.
Sekarang, masih pantaskah Indonesia disebutkan Negeri Autopilot?
Mumpung masih tentang ‘sumpah serapah’ pada elit negeri ini, walaupun tidaklah segelap yang tertulis di sebait ungkapan dari saudaraku Frans Supriyana di status FB-nya, tapi rasanya lebih pas menggambarkan kondisi Indonesia daripada ‘Negeri Auto Pilot’ :
Negeri gagal;
Eksekutif kadal,
Legislatif gombal,
Yudikatif dajal,
Rakyat jadi tumbal.
“Errornesia Raya merdeka merdeka diancuk jaran”
(Frans Supriyana, 16 Februari 2012)
Sekedar aspirasi, untuk mengungkapkan kekesalan, daripada lama tersimpan dalam benak, dan membuat sel tubuh dan darah menjadi berpikiran dan berperilaku negatif. Setelah tersalurkan, rasanya lebih plong, mudah-mudahan penyelenggara negara membacanya dan hayo kita bangun Indonesia, dengan mengerjakan yang terbaik untuk diri sendiri dan agama, bukankah right or wrong is our country!!
Kedaulatan energy yang meleset menjadikan aniaya dan frustrasi panjang, mbah…
System gadai-menggadai sumber énergy dari hulu sampai hilir mengajarkan rakyat berlaku cerdas untuk maling literan dan jerigen di SPBU adalah potret kusam, tidak usah dibahas karena 2 elemen pembuat undang-undang lincah bersilat soal harga bbm, bbg dengan atribut ke-ekonomian yang sok berpihak kebawah, padahal ngapusi, lembek dan lip service doang.
Autopilot benar, seperti antrian panjang pick-up bermuatan jerigen kosong di SPBU-SPBU sepanjang lintas sumatra,hanya butuh 20 menit untuk menghabiskan distribusi senin kamis dari pertamina, personel brimob dengan senjata hanya mengawasi antrian agar jerigen demi jerigen tidak meleset perkaliannya, bukan mengawal undang-undang-nya.
Auto-pilot mengundang preman kampung, maling dan investor abunawas yang siap menyusup ke system yang acak-adut untuk menguasai pesawat yang liar, jika berhasil mengendalikan maka akan lahir pahlawan baru, karbitan dan lebih korup.
Nasibku sudah…..
“…Auto-pilot mengundang preman kampung, maling dan investor abunawas yang siap menyusup ke system yang acak-adut untuk menguasai pesawat yang liar, jika berhasil mengendalikan maka akan lahir pahlawan baru, karbitan dan lebih korup….”
Very insightful Bro! like it!