Selalu meninggalkan tragedi dan trauma yang mendalam, apabila terjadi kecelakaan pesawat terbang. Demikian juga untuk tragedi Sukhoi SSJ-100 yang terjadi pada hari Rabu, 9 Mei 2012, menabrak Gunung Salak Bogor pada saat joy flight untuk mengenalkan produk Sukhoi kepada pasar Indonesia.
Beberapa nama yang termasuk dalam korban Sukhoi ini saya mengenalnya dengan baik, mereka adalah teman-teman di dunia penerbangan. Inilah juga, yang membuat saya begitu berduka atas tragedi ini. Innalilllahi wa inna ilaihi rojiun.
Sebenarnya, kalau dilihat dari prosentase kecelakaan dari moda transportasi udara, dibandingkan dengan moda transportasi lainnya, adalah yang paling kecil. Dengan kata lain, pesawat udara adalah transportasi yang paling ‘aman’ dibandingkan dengan transportasi lainnya.
Untuk perbandingan dan bayangan secara kasar saja, di bandara Soekarno Hatta Cengkareng saja, ada sekitar 358 ribu take off dan landing sepanjang tahun 2011. Atau sekitar 1000 take off dan landing perhari. Itu baru untuk Bandara Soekarno Hatta, yang merupakan bandara terbesar di Indonesia, belum dari puluhan bandara lainnya di Indonesia, dan ribuan bandara di dunia.
Dari jutaan pergerakan take off dan landing itu diseluruh dunia, yang terjadi total accident masih bisa dikatakan sedikit, setahunnya. Artinya, dari segi prosentase kecelakaan, memang sangatlah kecil. IATA (International Air Transport Association) misalnya, mencatat rata-rata hanya 1 kali kecelakaan didalam 1.6 juta kali penerbangan.
Yang menjadi trauma mendalam adalah karena kecelakaan pesawat terbang selalu berakhir dengan fatal, dan hampir semua korban meninggal dalam keadaan yang sulit dikenali. Inilah yang membuat kecelakaan pesawat terbang akan selalu menjadi headline yang serempak diseluruh pemberitaan dunia.
Dampak dari kecelakaan pesawat terbang yang sangat fatal itu sangat disadari pada waktu perancangan dari pesawat terbang itu. The sky is a vast place, but there is no room for error, angkasa merupakan tempat yang sangat luas, tetapi disana tidak ada sejengkalpun area untuk suatu kesalahan. Itulah filosofi yang berlaku di dunia penerbangan.
Dunia penerbangan adalah dunia yang penuh dengan regulasi yang berlapis. Semua dilakukan hanya dengan satu tujuan, meminimalkan angka kecelakaan pesawat.
Sebenarnya, kemajuan teknologi telah berhasil memangkas jumlah kecelakaan pesawat udara. Kemajuan teknologi yang diterapkan pada pesawat udara membuat faktor penyebab kecelakaan pesawat bergeser, dari yang semula dominan oleh faktor pesawat sebagai penyebabnya pada tahun 1960-1970-an, sekarang faktor manusia (human factor) menjadi penyebab utama kecelakaan pesawat. Faktor yang lain adalah external (cuaca, geografis, debu vulkanik, burung dan lainnya). Dan sering terjadi ada dua bahkan tiga faktor sekaligus yang menjadi penyebabnya.
Dari segi prosentasi, human factor sekitar 65%, kondisi pesawat 32% dan faktor external 13%.
Dan kebanyakan, kecelakaan pesawat terjadi pada waktu mendarat atau landing (56%) juga pada waktu tinggal landas atau take off (38%), sementara prosentase pada waktu terbang jelajah (cruising) hanya 6%.
Memang banyak faktor yang membuat terjadinya suatu peristiwa kecelakaan. Segala usaha dilakukan agar tingkat kecelakaan bisa ditekan seminimal mungkin.
Ada airline tertentu dengan tingkat kecelakaan yang sangat rendah (Qantas Airways tercatat tidak ada kecelakaan dalam 50 tahun terakhir) juga ada pesawat dengan catatan kecelakaan yang rendah, seperti misalnya Concorde, yang hanya terjadi crash sekali dalam operasional 30 tahunnya. Disamping itu ada juga airline dengan rekor kecelakaan tinggi dan juga pesawat yang mempunyai catatan kecelakaan yang panjang, itu artinya bahwa tingkat kecelakaan dapat diusahakan untuk diminimalkan.