Pencitraan, akar kata dari Citra, yang berarti kombinasi antara titik, garis, bidang, dan warna untuk menciptakan suatu imitasi dari suatu obyek–biasanya obyek fisik atau manusia. Citra bisa berwujud gambar dua dimensi, seperti lukisan, foto, dan berwujud tiga dimensi, seperti patung. Dalam perkembangannya, Citra tidak hanya berwujud dua dan tiga dimensi, tetapi juga ke audio visual bahkan ke perilaku. Pemakaiannyapun meluas, tidak melulu untuk dunia seni rupa dan desain tetapi merambah juga ke sosial politik.
Citra dan pencitraan dari dunia sosial politik inilah yang sekarang ramai dibicarakan.
Pencitraan berarti proses penciptaan dari suatu citra. Kalau menurut definisinya, arti dari pencitraan sebenarnya netral saja, tidak mengandung makna positif maupun negatif. Tetapi apabila menyangkut manusia, yang memang mempunyai kecenderungan untuk menampilkan sisi terbaik dari dirinya, apalagi dipergunakan oleh public figure dengan tujuan agar khalayak memperoleh hanya kesan yang baik, maka pencitraan mempunyai konotasi negatif.
Pencitraan kemudian dikesankan sebagai ‘penipuan’ dan ‘kamuflase’ untuk mempengaruhi persepsi orang sesuai dengan citra yang ditampilkan.
Kata ‘Pencitraan’ santer terdengar setelah era reformasi. Sangat masuk akal hal itu terjadi, karena pada era reformasi, semua pimpinan daerah mulai dari Kepala Desa, kabupaten, propinsi dan juga Presiden dipilih langsung oleh masyarakat. Ditambah lagi, ribuan nama yang juga harus dipilih langsung oleh masyarakat pada waktu pemilihan anggota legislatif.
Maka muncullah ribuan orang yang harus dikenal masyarakat secara instan agar dapat terpilih sebagai kepala daerah atau anggota legislatif. Dan karenanya mereka harus melakukan ‘pencitraan’, menampilkan yang terbaik dari dirinya, sehingga yang sering terjadi adalah ‘serigala berbulu domba’.
Itulah yang terjadi sekarang, pencitraan memiliki konotasi negatif, karena adanya rasa kecewa dari sebagian besar masyarakat bahwa apa yang terlihat dan terdengar tidak sebaik kenyataan sebenarnya. Tertipu!!
Didalam kehidupan sehari-hari, kita akan banyak menemui orang-orang yang melakukan pencitraan. Mereka berusaha mempermainkan persepsi kita, sehingga kitalah yang harus mempunyai filter untuk memilih yang benar.
Yang pertama harus kita pegang adalah, apabila kita tidak mempunyai pengetahuan sama sekali tentang orang tersebut, jangan mempunyai persepsi terlebih dahulu baik negatif maupun positif yang berlebihan terhadap seseorang. Kita harus bersikap netral dan objektif.
Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.
-Qs An Najm (53):28-
Don’t judge book from the cover! Jangan nilai sebuah buku dari sampul mukanya saja. Sampul muka sebuah buku memang biasanya didesain untuk merepresentasikan isi sebuah buku secara sekilas. Tetapi tidak berarti bahwa dari sampul buku itu saja kita menilai baik tidaknya sebuah buku, karena biasanya sampul buku adalah sebuah pencitraan. Seorang penulis buku ingin agar bukunya dibaca orang, dan karenanya ia akan berusaha menampilkan sebuah ‘sampul buku’ yang menarik, sebuah pencitraan!
Yang bisa dijadikan patokan juga, agar kita tidak tertipu oleh pencitraan seseorang, adalah memperhatikan teman-temannya. Ada pepatah mengatakan ‘Beritahukan saya siapa teman-teman anda, maka saya akan tahu siapa anda!’.
Didalam berteman, kita mempunyai kecenderungan untuk memilih teman yang sepaham dan mempunyai ketertarikan yang sama. Dengan mengetahui teman-temannya, kita akan dapat menarik benang merah, siapa dia. Disamping itu, teman-teman sekitarnyalah juga yang akan banyak memberikan pengaruh dan masukan yang tentunya akan mempengaruhi cara dia bertindak dan memutuskan.
Cara yang seperti ini juga yang banyak dipakai orang didalam memilih calon legislatif ataupun pilkada. Orang akan melihatnya dari latar belakang partainya dan juga anggota-anggota dari partai itu. Misalnya, karena anggota-anggota partainya yang banyak bermasalah, maka citra dari partai Demokrat menjadi jelek. Dan kalau tidak ada perbaikan, berakibat perolehan Pemilu yang akan datang akan membuat dia merosot.
Publik sudah muak, karena pencitraan partai Demokrat yang selama ini digadang-gadangkan sebagai anti korupsi bener-bener jauh panggang dari api! Kecewa, karena sudah menjadi korban dari sebuah pencitraan!
Ping balik: Tongkat Nan Membawa Rebah | oetoesan melajoe