Lagi ramai mengenai kesalahpahaman tarian Tor-Tor yang dimasukkan oleh Malaysia sebagai warisan budaya yang diajukan oleh komunitas masyarakat Mandailing di Malaysia.
Kejadian tersebut bukan yang pertama kali, sebelumnya juga mengenai musik Angklung, Reog Ponorogo dan lagu ‘Rasa Sayange’ yang menjadi jingle lagu ‘Visit Malaysia, the truly Asia’ ke penjuru dunia.
Tidak hanya budaya, kuliner khas-pun juga pernah diklaim oleh Malaysia, yaitu rendang dan cendol.
Yang lebih besar, tentu masih ingat tentang kasus Sipadan dan Ligitan. Dua pulau tersebut terpaksa lepas dari Indonesia karena Mahkamah Internasional (MI) memenangkan pihak Malaysia dalam sengketa kepemilikan terhadap pulau tersebut.
Alasan MI sangat simple, karena pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia yang telah ada di kedua pulau tersebut tidak menjadi pertimbangan. Walaupun demikian, ini berarti pihak Malaysia telah lebih banyak memanfaatkan dan peduli terhadap kedua pulau tersebut.
Jujur, dengan adanya klaim terhadap beberapa budaya tersebut, sebenarnya menunjukkan bahwa pemerintah Malaysia lebih peduli terhadap budaya tersebut. Klaim hanya terjadi pada sesuatu yang seakan-akan telantar dan tidak terurus.
Saya punya beberapa teman yang tinggal di Malaysia, dan beberapa kali saya kontak dengan mereka melalui email, telpon maupun fesbuk. Mereka berkomentar tentang mengapa mereka tinggal di Malaysia.
Teman saya yang pertama adalah mantan atasan saya waktu kerja di PT Dirgantara Indonesia (PTDI, dahulu PT IPTN). Setelah tidak bekerja di PTDI, teman saya tersebut sempat beberapa kali kerja di luar negeri, di bidang Aeronautika, sebelum akhirnya kerja di Malaysia di bidang yang sama. Secara psikologis teman saya mengatakan, betapa dia ada rasa ‘tidak nyaman’ kerja di Malaysia, dan ingin rasanya menularkan ilmunya di dalam negeri saja, tetapi hal itu sulit, karena Malaysia lebih menerima dia daripada Indonesia sendiri (PTDI mengadakan restrukturisasi pegawai besar-besaran, sebagai salah satu imbas dari krisis global 1997).
Dia bekerja di salah satu perusahaan swasta Malaysia di bidang Aeronautika. Meskipun swasta, perusahaan tempat ia bekerja disubsidi oleh pemerintah. Pemerintah Malaysia mempunyai visi 2020, dan untuk bidang Aeronautika, ia diminta sebagai salah satu pengajar untuk mencetak 6000 orang ahli penerbangan sampai dengan tahun 2020.
Ia merasa miris dan kontradiktif, karena ia telah banyak belajar mengenai penerbangan di Indonesia waktu di PTDI dulu, tapi akhirnya harus membagi ilmunya di negri orang, Malaysia!
Teman kuliah saya satu angkatan juga ada yang kerja di Malaysia. Setelah melanglang buana di banyak perusahaan perminyakan di dalam negeri, akhirnya ia memilih untuk kerja di Malaysia, di perusahaan nasional perminyakan Petronas. Ingat Petronas selalu ingat Pertamina. Dulu Petronas berguru ke Pertamina mengenai masalah pertambangan migas, tetapi sekarang murid sudah jauh lebih maju daripada gurunya.
Tinggal di Kuala Lumpur membuat ia nyaman, ke tempat kerja jalan kaki dan juga kalau mau ke mall, hanya dengan mengayunkan langkah. Bayangkan apabila ia kerja di Indonesia, ia pasti akan memakan waktu berjam-jam dari rumahnya yang di Bintaro sebelum sampai ke tempat kerja di Jakarta yang biasanya berada di seputaran CBD Sudirman – Kuningan.
Dan yang terakhir, teman saya yang masih sangat belia. Pergi ke Malaysia untuk bekerja sebagai TKI selepas STM di Madiun. Melanjutkan sekolah di Indonesia hanya menjadi mimpi saja, akhirnya ia bekerja di Jakarta. Tidak puas bekerja di Jakarta karena penghasilan yang terbatas, sementara tempat kerja yang jauh (Bogor – Jakarta) membuat penghasilan hanya tergerus oleh ongkos transportasi. Belum lagi capek dan waktu yang terbuang.
Akhirnya, sejak pertengahan tahun 2011 mencoba peruntungan di Malaysia, dan bekerja di Pabrik Furniture di Selangor. Dalam emailnya ia bercerita, kalau merasa nyaman tinggal disana. Ia membandingkan dengan Indonesia yang apa-apa harus bayar, termasuk untuk ke kamar kecil, sedangkan di Malaysia, dengan RM 1 ia sudah dapat berobat dengan fasilitas memadai.
Itulah komen teman-teman saya yang tinggal di Malaysia!
Melihat itu semua, harus kita sadari bahwa Malaysia lebih terintegrasi dalam segala hal. Mungkin kita dapat berkelit, bahwa penduduk Malaysia lebih sedikit, pulaunya lebih sedikit dan juga lebih homogen daripada di Indonesia. Tetapi, dari kacamata lain, itu hanya merupakan alasan pembenaran saja, kenapa kita tidak melihat bahwa Indonesia mempunyai potensi yang lebih karena penduduknya yang banyak, pulaunya yang ribuan dengan beragam potensi sumber daya alam, dan juga sukunya yang beragam yang berarti mempunyai banyak kearifan lokal.
Sebagai contoh, Malaysia dengan destinasi turis yang terbatas bisa mendatangkan turis asing lebih dari 20 juta setahun. Padahal Indonesia jauh lebih dikenal sebelumnya dengan Pulau Bali-nya, dan masih ada ribuan destinasi wisata yang tersebar. Malaysia belajar dari Indonesia mengenai pariwisata, dan sekarang, wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia masih jauh dibawah angka 10 juta orang.
Think globally, act locally! Berpikir dan berwawasan global, dan bertindak lokal!
Hayo, majulah Indonesia, negaraku!
Nasionalisme tidak ada dalam islam… dalam islam yang ada ukhuwah islamiyah… persaudaraan berdasarkan iman…. Malaysia adalah negara yang mayoritas adalah Islam… dan sebagai orang islam, kita wajib mencintai mereka jug…
Rasulullah SAW bersabda : “Malakat jibril selalu berpesan kepadaku untuk senantiasa berbuat baik kepada tetangga, sehingga aku menyangka bahwa tetangga itu akan ikut mewarisinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Aisyah RA., ia berkata : saya bertanya : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai dua tetangga, maka siapakah yang harus saya dahulukan? “Beliau menjawab : “Kepada tetangga yang lebih dekat pintunya.” (HR. Bukhari)
Yah, lebih baik ke yang lebih dekat dululah…
saya jadi terharu… hik hik hik..
Cep cep cep…