Meskipun harus menjalani pilgub putaran ke 2, banyak pihak seolah telah melihat kemenangan Jokowi – Basuki sebagai Gubernur DKI yang baru periode 2012-2017.
Prosentase kemenangannya pada putaran pertama memang cukup meyakinkan, 42% untuk kubu Jokowi, 34% untuk Foke dan hanya 12% untuk Hidayat Nur Wahid, serta sisanya harus berbagi diantara 3 kandidat lainnya. Tak heran, kalo sudah banyak yang meramalkan dialah Gubernur DKI yang akan datang.
Jakarta adalah representatif pemilih yang cerdas dan independen. Warganya kebanyakan sudah terdidik, bila dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Sebaran informasi juga sangat merata, tidak ada ‘blank spot’ informasi di Jakarta, semua warganya dapat mengakses informasi dengan sangat mudahnya. Karenanya, orang yang memilih adalah orang-orang yang bener-bener telah mempunyai pilihan secara logis, bukan dikerahkan ataupun malah diintimidasi untuk memilih seperti halnya di daerah yang masih tertinggal.
Di Jakarta, warga yang memilih untuk tidak memilihpun juga bukan orang yang bodoh. Dia juga mempunyai alasan yang logis juga, kenapa apatis terhadap sistem demokrasi. Tingkat partisipasi pemilih yang memilih hanya sekitar 65%, prosentase yang lazim terjadi di kota-kota besar dunia. Sebuah anomali demokrasi, tingkat partisipasi pemilih yang semakin rendah seiring dengan kemajuan suatu negara!
Harapan baru warga Jakarta sekarang akan digantungkan kepada Jokowi!
Harapan yang timbul karena bosan melihat cagub lainnya yang cenderung birokratis, memamerkan angka-angka statistik keberhasilan, ataupun dengan janji-janji kampanye yang jauh panggang dari pada api.
Perhatikanlah dari cara berpakaian. Saya hanya melihat pasangan Jokowi – Ahok dan Faisal – Biem yang berani tampil beda. Pakaian mereka adalah pakaian sehari-hari, yang mengisyaratkan tidak adanya jarak antara calon pemimpin dengan warganya. Fauzi Bowo sering memakai kostum ala birokrat, HNW memakai batik yang seperti mau kondangan dan formal, Alex Noerdin sering tampil dengan pakaian putihnya dengan pola jahitan seperti ambtenaar jaman dulu dan terkesan ‘takut kotor’ sedang pasangan Hendardji memakai kostum tradisional Betawi, yang memberikan kesan seperti mau ikutan karnaval, jadul, dan mati gaya!
Pakaian kotak-kotak yang dipakai Jokowi, adalah pakaian warga sehari-hari yang banyak terdapat di pasar-pasar seperti Tanah Abang. Murah, trendy dan gaul! Dengan harga yang murah, maka para pendukungnya juga sangat mudah memperolehnya, bahkan menjadi trendsetter yang banyak dijual kemudian di pasar-pasar Jakarta. Dan pada saat hari H pemilihan berlangsung, pendukungnya dengan mudah dikenali dan banyak terlihat dijalanan karena baju kotak-kotaknya. Sungguh, suatu cara pemasaran yang efektif dan efisien!
Pasangan Faisal – Biem sebenarnya juga sudah sangat merakyat jika dilihat dari segi kostumnya, cuman tidak spesifik, hanya warna putih monoton, yang sulit dibedakan dan tersamarkan dalam penampilan publik.
Cara berkampanyepun, pasangan Jokowi lebih membumi dibandingkan dengan yang lain. Mereka lebih suka mendatangi warga, daripada mendatangkan warga. Datang pertama ke KPU untuk mendaftar cagub dengan menumpang metromini Kopaja, kendaraan yang biasa ditumpangi sebagian besar warga Jakarta. Dan juga sering blusukan naik busway, ke stasiun kereta, ke pasar tradisional ataupun makan di warteg bersama warga. Bahkan, kampanye besar-besarannya yang di Gelora Bung Karno dia pindahkan ke Lapangan Parkir Timur dengan alasan biar tidak merusak rumput di GBK dan biayanya lebih murah, hehehe, hal yang terasa aneh terdengar, tetapi mempunyai efek yang luar biasa, karena adanya unsur kepedulian disitu.
Sedangkan sebagian yang lain masih konvensional, ada yang kampanye dengan mendatangkan warga ataupun mnengadakan kegiatan sosial agar warga datang seperti ‘Acara Pengobatan Gratis’ yang amat pamrih. Sedang pasangan incumbent sibuk menampilkan data statistik dengan rajin beriklan di TV yang memaparkan keberhasilan yang diraihnya.
Harapan baru warga Jakarta sekarang akan digantungkan kepada Jokowi!
Dan apabila dia terpilih kelak, sejarahlah yang akan menuliskannya, apakah dia tercatat sebagai orang yang sukses, biasa-biasa saja atau malah pecundang yang berakhir tragis.
Harapannya tidak muluk-muluk, yang paling utama adalah mengurai kemacetan!
Setiap pekerja di Jakarta rata-rata kehilangan waktu rata-rata 4 jam agar sampai di tempat bekerja tujuan. Waktu yang benar-benar terbuang percuma!
Kualitas hidup menurun dengan hilangnya 4 jam waktu yang tidak produktif. Jutaan liter bbm terbuang percuma karena terjebak macet setiap harinya. Asap knalpot kemacetan juga menimbulkan stress dan bahaya kesehatan lainnya.
Kalau kemacetan telah terurai, Jakarta akan nyaman untuk ditinggali dan dijadikan tempat bekerja. Dan, Jokowi akan tercatat sebagai pahlawan Jakarta, warga Jakarta akan mengenangnya dan merasa tidak sia-sia untuk memberikan amanah kepadanya!
——-
Ditulis oleh bukan warga Jakarta tetapi selalu merasakan kemacetan Jakarta!
yess
purwati
http://purwatiwidiastuti.wordpress.com
http://purwatiyogya.wordpress.com
http://purwati-ningyogya.blogspot.com
http://purwatining.multiply.com
Wah, pendukung setia Jokowi nih sis, hehehe…
Jokowi oke, wakilnya yang tidak oke…. sudah jelas dalam Al-Qur’an larangan mengangkat orang kafir sebagai pemimpin meskipun mereka mampu….
Ada ungkapan menarik dari Muhammad Abduh, tokoh dari Mesir: “Saya melihat Islam di Barat tapi saya tidak temukan Kaum Muslim di sana. Sebaliknya, saya menemukan Kaum Muslim di Timur tapi saya tidak melihat ada Islam di sana.”. Semoga muslim segera dapat menemukan pemimpin yang Sidiq, Amanah, Tabligh dan Fathonah.
Dari Umar radhiallahu ‘anhu, dia menceritakan, “Ketika kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang pakaiannya sangat putih, rambutnya sangat hitam, pada dirinya tidak ada bekas-bekas datang dari perjalanan, namun tidak ada satu pun di antara kami yang mengenalnya. Kemudian, dia duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia menempelkan lututnya ke lutut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meletakkan telapak tangannya di atas paha Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian, dia bertanya, ‘Wahai Muhammad, sampaikan kepadaku, apa itu islam? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Islam adalah engkau bersyahadat bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan salat, menunaikan zakat, berpuasa ramadhan, dan melaksanakan haji ke Baitullah jika engkau mampu pergi ke sana.’ Orang ini berkata, ‘Engkau benar.’” Umar pun mengatakan, “Kami terheran; dia bertanya lalu dibenarkannya sendiri. Orang tersebut bertanya, ‘Sampaikan kepadaku tentang apa itu iman!’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iman itu, engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari akhir, serta beriman kepada takdir baik maupun buruk.’ Orang tersebut menyahut, ‘Kamu benar. Sampaikan kepadaku tentang apa itu ihsan!’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ihsan itu, engkau beribadah kepada Allah seolah engkau melihatnya. Jika engkau tidak bisa, maka sesungguhnya Allah melihatmu.’ Orang itu bertanya, ‘Sampaikan kepadaku, kapan kiamat terjadi?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Orang yang ditanyai tidak lebih tahu daripada orang yang bertanya.’ Orang itu bertanya lagi, ‘Sampaikan kepadaku tentang tanda-tandanya!’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Budak-budak wanita akan melahirkan tuannya, dan engkau akan melihat orang yang tidak memakai alas kaki, suka tidak memakai baju, miskin, dan penggembala kambing berlomba-lomba dalam membuat bangunan yang tinggi.’ Kemudian, orang tersebut pergi, sementara aku (Umar) diam (tidak mencari) beberapa hari. Setelah itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Wahai Umar, tahukah kamu, siapa orang yang kemarin bertanya itu?’ Umar mengatakan, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya, dia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.’” (HR. Muslim, no. 1)
Dasar/dalil dari Muhammad Abduh apa mengatakan begitu? Dari hadits diatas jelas apa itu Islam, sedangkan di negeri barat tidak ada pentauhidan kepada Allah, yang ada kekafiran. Sedangkan di negara timur Islam itu ada, yaitu masih banyaknya orang-orang yang bersyahadat dan masih ada adzan, sholat jamaah, sholat jumat dan syiar islam yang lain. jadi seandainya disuruh memilih, lebih baik tinggal di negara mayoritas muslim meski masih ‘semrawut’ dari pada tinggal di negara kafir meski terlihat tertib, teratur, maju dan lain2. Karena Islam bukan seperti yang sekarang terlihat di negara Barat.
D
Dari hadits diatas, sud
Ada ‘Ruh’ dan ada ‘Gerakan’. Setiap Gerakan mempunyai Ruh. Dalam Rukun Islam, semua perbuatan didalamnya nampak secara lahir dan bersifat gerakan, tetapi sebenarnya setiap gerakan dalam rukun Islam tersebut mempunyai Ruh-nya masing-masing.
Ruh itulah yang mempunyai dimensi pribadi dan dimensi sosial. Dan dimensi pribadi dan sosial itulah yang ditangkap oleh Muhammad Abduh. Mungkin, Muhammad Abduh melihat fenomena banyaknya ‘Gerakan’ dalam rukun Islam dan rukun Iman yang dilakukan oleh umat islam yang seakan-akan tanpa Ruh. Itu yang sejauh saya tangkap, dan beliau berusaha memberikan autokritik kepada umat islam itu sendiri. Sehingga lebih tepat kalo disampaikan bahwa pengertiannya ‘Saya melihat ‘Islam’ di Barat tapi saya tidak temukan Kaum Muslim di sana. Sebaliknya, saya menemukan Kaum Muslim di Timur tapi saya tidak melihat ada ‘Islam’ di sana’. ‘Islam’ disini dalam tanda kutip. Kalau persisnya seperti apa, beliau yang tahu, wallahua’lam bissawab.
maunya seh yg non partai….tapi gimana ya…kalah pada putaran pertama…itu tandanya masyarakat jakarta belum bisa memilih yg baik…klo partai mah sama aj…mau yg ad moncongnya ato nda,,,,ga bisa diharapkan…pengen seh yg beda…
Wah pendukung FB nih, hehehe… Yang dikhawatirkan dari orang partai emng, karena ia harus ‘membalas budi’ pada partai-nya. Partai, tentu saja sebuah kroni, yang didalamnya ada orang-orang yang memerlukan jabatan, pekerjaan dan proyek, hehehehe…
Ping balik: Prabowo-ku, Prabowo-mu dan ‘Prabowo sendiri’… | An Odyssey