‘Diam’

itikaf

Ada banyak istilah yang mungkin berkonotasi sama dengan ‘diam’, seperti meditasi, instropeksi diri, retreat, perenungan, rehat dan sebagainya. Dan semua kegiatan tersebut hanya bisa dilakukan ketika kita ‘diam’ dengan tenang, berhenti dari kegiatan yang lain, memusatkan perhatian, tidak tegang  dan tidak tergesa-gesa.

Kelihatannya sepele, tetapi banyak kegiatan ibadah, ‘puncak’ dari suatu prosesi ibadahnya adalah dengan ‘diam’.

Dalam shalat, tuma’ninah adalah salah satu rukunnya. Artinya tuma’ninah harus dilaksanakan dalam setiap gerakan shalat agar sah shalatnya. Tuma’ninah artinya tenang dan diam sejenak. Tuma’ninah dalam shalat adalah aspek meditasi, dan itu tidak mungkin bisa dilakukan bila jiwa tidak tenang, tegang dan terburu-buru.

Pun didalam pelaksanaan ibadah puasa Ramadan. Ada eskalasi peningkatan keimanan dalam jiwa pada setiap hari dari puasa yang kita lalui. Pada saat 10 hari terakhir, disunnahkan untuk melakukan itikaf. Itikaf artinya ‘berdiam diri’, dilakukan didalam masjid, melakukan perenungan dan kegiatan peningkatan keimanan. Bisa dikatakan, bahwa ‘mahkota’ dari ibadah puasa untuk diri sendiri dan secara personal adalah dengan melakukan itikaf, dan untuk yang bersifat sosial dan komunal adalah dengan membayar zakat fitrah dan shalat Idul Fitri berjemaah.

Pelaksanaan ibadah haji juga tidak luput dari kegiatan ‘diam’. ‘Mahkota’ haji disematkan ketika para calon haji selesai melakukan prosesi ‘wukuf’ di Arafah. Wukuf artinya ‘berhenti’. Tentu tidak sekedar ‘berhenti’, banyak melakukan kegiatan perenungan, mengingat Allah (dzikir), memohon ampun kepada-Nya dan mengadu kepada-Nya. Pada saat wukuf di Arafah, kita seakan dibangkitkan dari kematian, berada dalam padang masyhar, dan kita merenungkan perjalanan kehidupan kita yang diputar ulang untuk menerima pembalasan. Subhanallah!

Tuma’ninah dalam shalat, i’tikaf pada waktu ibadah puasa Ramadan, dan wukuf di Arafah ketika kita melaksanakan ibadah haji, mengisyaratkan betapa pentingnya ‘diam’.

Apabila kita melaksanakannya semua ibadah tersebut dengan baik, betapa banyak ‘meditasi’ yang telah kita lakukan, yang seharusnya membuat hati kita lembut. Semoga Allah menjadikan kita orang yang berserah diri kepada-Nya.

Iklan
Pos ini dipublikasikan di Renungan dan tag , , . Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s