Tidak terencana sebelumnya, seorang teman mengajak saya mengunjungi Gua Payudan di Sumenep. Saya langsung mengiyakan, karena sudah lama dengar tentang Gua Payudan ini. Gua Payudan berada di Kecamatan Guluk-Guluk Sumenep, merupakan tempat petilasan dan pertapaan leluhur orang Madura seperti Pottre Koneng, Jokotole, Ke’ Lesab, Bindara Saod sampai Raja-raja Sumenep.
Jalan menuju ke Gua Payudan sungguh sangat terjal. Berkali-kali Kijang Innova yang kita bawa harus berhenti karena tergelincir, dan akhirnya parkir ditempat yang agak lapang, sudah tidak bisa melanjutkan keatas lagi karena terjal, sehingga kita turun untuk menuju Gua yang menanjak dan berjalan kaki. Ngos-ngosan setiba diatas, tetapi bisa terbayar lunas ketika melihat panorama desa yang ada di bawah juga Gua yang mempesona.
Ada beberapa tempat pertapaan seperti pertapaan Pottre Koneng, Jokotole dan Bindara Saod. Setelah masuk dan ijin, sang juru kunci kemudian memberikan senter untuk dapat masuk lebih jauh kedalam Gua. Masuk ke dalam Gua benar-benar seperti memasuki dunia yang lain, gelap total!! Dan suara sangat hening, seakan terputus dengan dunia luar!! Mungkin suasana seperti itu yang dicari oleh pertapa, sehingga mereka dapat berkonsentrasi didalam untuk bermunajat kepada sang Pencipta.
Sampai sekarang, masih ada orang yang bertapa. Waktu saya mengunjungi Gua Payudan, Juru Kunci mengatakan kalau saat itu ada 4 orang yang sedang menjalani pertapaannya.
Foto diatas diambil waktu ditengah perjalanan balik dari Gua Payudan. Kagum dengan kekuatan ibu-ibu yang terlihat sedang berjalan mendaki dengan beban yang diletakkan diatas kepala saya foto mereka dari dalam mobil. Ada perasaan kagum dan juga merasa kasihan karena jalanan yang menanjak, berjalan kaki dan masih dengan beban diatas kepala. Saya membayangkan, kita aja tadi ngos-ngosan sampai diatas, itupun sebagian besar naik mobil, sedangkan mereka berjalan kaki dari bawah, saya menjadi iba.
Ketika berpapasan, saya menyapa mereka:
‘Mau keatas Bu?’, tanya saya basa-basi karena jelas-jelas mereka menuju keatas, hehehe.
‘Iya Pak mau ke atas, wah Bapak dari atas ya?’, ‘Duh, kasihannya, jalannya jelek kan Pak!’, ‘Ini ada makanan Pak, mau ya Pak?’. Sang ibu nyerocos menyampaikan rasa kasihannya kepada kita, dan dengan tulus menawarkan makanan yang disompi diatas kepalanya.
‘Udah Bu, gak usah! Silahkan Bu!, Saya menjawabnya dengan malu, kaget dengan penawaran tak terduga dari sang Ibu.
Saya yang merasa kasihan dan iba kepada mereka yang telah berjalan kaki, malah sang Ibu yang merasa kasihan kepada kita!
Jika perasaan kasihan dan iba saya karena saya merasa ‘lebih’ dari mereka dengan mengendarai mobil, perasaan kasihan mereka kepada kita, jauh sangat tulus, dari hati yang sangat bersih, dan dengan kasih sayang yang besar!
Dalam hati saya berkata ‘Ya Allah, telah kau tunjukkan sosok yang sangat mulia dan tulus kepadaku hari ini!’, saya merasa malu, kepada diri sendiri yang telah salah menduga!