*Syarat dan Ketentuan Berlaku…

Api dalam sekam akhirnya terbuka juga, rakyat Aceh ingin merdeka. Akumulasi dari berbagai kekecewaan, karena harapan yang tak kunjung menjadi kenyataan sementara kedaulatan dan harga diri dengan bergabung ke Indonesia malah semakin tercabik.
Aceh mempunyai kearifan lokal dengan suasana islam yang kuat, sebagai bentuk keistimewaan, Aceh menjalankan syariah islam secara formal yang difasilitasi oleh pemerintah. Peraturan Daerah-nya (dikenal dengan nama Qanun) mengakomodasi adanya hukuman cambuk, ada razia pacaran, tidak ada bioskop di Aceh, hukuman bagi zina dengan cara islam dan lainnya.
Sayangnya, meski menjadi bagian dari Negara Indonesia yang mayoritas muslim, kearifan local tersebut bukannya mendapat dukungan sebagaimana layaknya dari keluarga besarnya, tetapi malah mendapat cibiran.
Penerapan Perda Syariat Islam di Aceh Diminta Dikaji Ulang
Begini Tanggapan WNA Terhadap Hukum Cambuk di Aceh
Padahal Aceh dari dulu sudah bersikeras dengan Gerakan Aceh Merdeka-nya, ingin lepas dan mandiri dari Indonesia, tetapi Indonesia yang bersikeras agar Aceh tetap menjadi bagian dari Indonesia.
Aceh merasa sendiri, harga diri dilecehkan, dan akhirnya Muzakir Manaf, ex Panglima GAM harus mengatakan dalam sebuah acara resmi,tanggal 29 Mei 2019 lalu, dihadapan panglima wilayah tertinggi TNI di Aceh (Pangdam) dan disambut tepukan riuh menyetujui dari peserta yang hadir, bahwa Aceh ingin ada referendum, jajak pendapat dari rakyat Aceh, Merdeka atau tetap menjadi bagian dari NKRI.
Lain lagi dengan Yogyakarta, yang juga merupakan Daerah Istimewa. Keistimewaan Yogyakarta salah satunya Gubernur yang akan selalu dijabat oleh Sultan Hamengkubuwono dan Wakil Gubernur diduduki oleh Adipati Paku Alam. Sebelum disahkan dalam Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, pemerintah sempat mengutak-atik agar 2 jabatan itu dipilih secara demokratis, dan itu membuat Sultan Hamengkubuwono berang.
Mengapa Sri Sultan Mengusulkan Referendum?
Salah satu keistimewaan Yogyakarta karena ia berdiri lebih lama dari Republik Indonesia ini. Dan banyak peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dan tiba-tiba, ketika bergabung dengan Indonesia, semua aturan seperti mau diutak-atik lagi, dan hal itu membikin gerah bagi elit Yogyakarta. Di Yogyakarta non pribumi tidak diperkenankan memiliki tanah hak milik, aturan yang sudah berjalan puluhan tahun, tiba-tiba digugat dengan alasan diskriminasi dan sebagainya. Apa gak bikin jengkel ya, Yogyakarta yang sudah menjadi Negara sejak lama yang menyatakan ingin bergabung dengan Indonesia yang masih Negara baru waktu itu, tapi kemudian diutak-atik oleh oknum-oknum yang tidak tahu sejarah.
Mengapa Warga Negara Non Pribumi Tidak Boleh Mempunyai Tanah di Jogja?
Kontroversi Larangan Tionghoa Miliki Tanah di Yogya
Indonesia itu super kaya, sumber daya alam dan sumber daya manusianya sangat melimpah, tetapi semua di eksploitasi dan dijual mentahnya saja.
Minyak dan gas di Jambi dialirkan ke Singapura, padahal Jambi sendiri sering byar pet. Dengan adanya migas yang dialirkan ke Singapura, orang Singapura bisa bikin pabrik dan berproduksi untuk dijual ke negara lain, sedangkan Jambi ya jangankan untuk memenuhi kebutuhan listrik pabrik, untuk rumah tangga aja masih suka byar pet.
Di Jambi banyak hasil perkebunan berupa Pinang, hasilnya banyak diekspor ke India, pinang mentah saja, dan di India dibuat bahan dasar kosmetik dan obat. Pelepah pinang yang sudah sampah, di ekspor ke Malaysia, dan di Malaysia dibikin piring organik pengganti styrofoam. Kalo pelepah pinang harganya Rp 500 perlembar, piring organik bisa mencapai Rp 5.000 perbuah. Satu pelepah pinang bisa buat 3 -4 piring.
Indonesia adalah salah satu negara yang kaya akan mineral, termasuk bauksit. Biji bauksit adalah bahan mentah untuk aluminium. Tapi meski kaya akan bauksit, PT Inalum (Persero), induk holding BUMN pertambangan yang memproduksi aluminium, terpaksa harus mengimpor bahan baku.
Sebab, bauksit harus diolah dulu menjadi alumina, baru setelah itu bisa diolah menjadi aluminium batangan. Masalahnya, Indonesia belum memiliki fasilitas pengolahan (smelter) untuk mengkonversi bauksit menjadi alumina.
Akibatnya, Inalum bergantung pada pasokan alumina impor dari Australia, yang sebenarnya membeli bauksit dari Indonesia. Ironisnya, bauksit diekspor dengan harga hanya USD 25-30 per ton. Lalu diimpor lagi oleh Indonesia dalam bentuk alumina dengan harga USD 300-350 per ton.
Bahkan untuk tenaga kerja saja kita ekspor ‘mentah’ itupun tenaga kerja kasar, bayangkan jika TKW dan TKI yang ada diluar negeri itu tersedia lapangan pekerjaan di Indonesia, betapa produktifnya negara ini.
Pemerintah lagi masif mendengungkan Negara Kesatuan Republik Indonesia harga mati! Bagi warga Negara Indonesia kebanyakan, justru hal itu menjadi tanda-tanya besar, rasanya baik-baik saja keadaan Negara ini, tapi kenapa ramai dipermasalahkan.
Karena ramai dipermasalahkan, malah membuka kesadaran sebagian besar masyarakat, memang apa ya untungnya NKRI harus harga mati. Apakah memang NKRI yang harus harga mati, tidakkah lebih penting keadilan dan kemakmuran yang harga mati?
Ingin Indonesia tetap menjadi Negara kesatuan tapi nyinyir pada perbedaan, merasa golongannya sendiri yang punya negeri ini menafikan kelompok masyarakat lain.
Ingin Indonesia tetap menjadi Negara Kesatuan tapi malah menodai perasaan bangsa Indonesia dengan memasukkan banyak tenaga kerja asing ke Indonesia.
Ingin Indonesia tetap menjadi Negara Kesatuan tapi malah tidak menghargai kerja bangsa sendiri, impor beras waktu lagi panen, impor gula sementara gula produksi petani sendiri tidak dihargai.
Ingin Indonesia tatap menjadi Negara Kesatuan, tapi membuat rakyatnya seolah tikus yang mati di lumbung padi, kekayaan melimpah tetapi rakyatnya miskin, sementara pemerintahnya malah tertangkap banyak yang korupsi.
Ingin Indonesia tetap menjadi Negara Kesatuan, tapi jalan mulus hanya di Jawa saja, sementara di banyak tempat di luar Jawa, jalan mulus adalah suatu kemewahan.
Ingin Indonesia tetap menjadi Negara Kesatuan, tetapi rakyatnya ditodong senjata, dihujani gas air mata, diburu kayak tikus sawah dan dipukul didepan ribuan mata.
Ingin Indonesia tetap menjadi Negara Kesatuan tapi malah tidak melindungi warga negaranya sendiri, dipenjara orang-orang yang berbeda pendapat.
Ingin Indonesia tetap menjadi Negara Kesatuan tapi malah membagi-bagi jabatan kepada golongannya sendiri, seakan yang lain tidak boleh berkontribusi karena kalah dalam kompetisi demokrasi.
‘Negara Kesatuan Republik Indonesia’ bukanlah slogan yang harus diperdengarkan di banyak media, ditulis besar di jutaan spanduk dan baliho seantero negeri yang seakan-akan menakut-nakuti. ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia’ adalah rasa yang akan mempersatukan segenap bangsa Indonesia tanpa disuruh apabila syarat dan ketentuannya berlaku!