
Hiruk pikuk pandemik Covid-19 yang melanda seluruh belahan dunia membuka banyak perbincangan. Diakui, pandemik sekarang memang skalanya besar, hampir semua negara terkena, dan di Indonesia, semua daerah kota dan kabupaten sudah ada penderita Covid-19. Dalam skala kecil, mengingat kembali, pernah ada wabah flu burung, SARS dan MERS, tetapi gak seheboh sekarang. Pada waktu flu burung kita hanya sering lihat di TV banyaknya pemusnahan unggas di peternakan-peternakan, dan hanya sebagian kecil daerah saja.
Tetapi Covid-19, semua kena, dari segala lapisan masyarakat, dan berita tentang korban meninggal setiap detik menghiasi medsos dan televisi sehingga kita menjadi waspada.
Dengan pandemik Covid-19 kita kemudian mengenal banyak istilah dan kebiasaan baru, mulai dari himbauan sering cuci tangan dengan sabun dan air mengalir, memakai masker, pola hidup bersih dan sehat, berjemur pada siang hari dan istilah-istilah baru seperti social distancing (physical distancing) dan tentunya yang paling heboh yaitu lockdown atau karantina wilayah.
Himbauan seperti sering cuci tangan dengan sabun dan air mengalir, sebenarnya sudah sering terdengar. Iklan sabun cuci tangan atau disinfektan pasti digambarkan banyaknya virus dan kuman yang tersingkir setelah disabun. Digambarkan juga bahwa virus dan kuman banyak disekitar kita, untuk itu sering-seringlah cuci tangan. Mungkin dulu kita tidak terlalu hirau pada isi iklan tersebut, tetapi dengan pandemik Covid-19, iklan itu seakan berkata ‘bener kan yang saya bilangin!’dan membuat kita lebih menuruti pesan yang disampaikan karena apabila tidak, ancaman ada di depan mata ‘Virus Covid-19’.
Dari segi agama Islam, saya merasakan aktualisasi dari banyak tuntunan ajarannya. Sama seperti fenomena iklan sabun, beberapa tuntunan agama Islam menjadi terlihat ‘manfaatnya’ sehingga kita jadi tahu ‘filosofinya’ kenapa ajaran itu harus dilaksanakan.
Mencuci Tangan dengan Sabun dan Air Mengalir
Islam mengajarkan agar kita selalu dalam keadaan suci dari Hadas. Hadas, yaitu keadaan diri pada seorang muslim yang menyebabkan ia tidak suci, dan tidak sah untuk mengerjakan sholat. –Najis, menurut bahasa berarti kotor, tidak bersih atau tidak suci. Sedangkan menurut istilah adalah kotoran yang seorang muslim wajib membersihkan diri dan mencuci apa-apa yang terkena najis.
Bab mengenai bersuci (thaharah) termasuk yang diajarkan pertama kali dalam pengetahuan agama Islam, sejak kecil dari SD ataupun non formal melalui madrasah sore. Bab-nya agak panjang, najis dibagi beberapa kategori, tiap kategori juga beda-beda cara mensucikannya. Air, yang merupakan alat pensuci, juga banyak kategorinya dan digolongkan mana yang bersifat menyucikan mana yang tidak. Syarat air bersifat mensucikan juga ada ‘Term and Condition’-nya. Bagaimana apabila tidak ada air? Ada penggantinya, tetapi ‘syarat dan ketentuan’akan berlaku. Cerita mengenai ‘bersuci’akan panjang, dan diajarkan tidak cukup dalam satu kali pertemuan.
Dalam sehari, muslim harus menjalankan shalat lima waktu. Dan apabila kita akan shalat, kita harus suci dari hadas kecil. Menghilangkan hadas kecil dengan berwudhu. Rangkaian dari wudhu yang membersihkan anggota tubuh adalah: mencuci tangan, berkumur-kumur, membersihkan telinga dan hidung, membersihkan muka dan membersihkan kaki.
Air yang digunakan syaratnya suci dan mengalir! Selain itu, ritual wudhu harus tertib sesuai urutan. Cuci tangan harus dilakukan lebih dahulu daripada yang lain, dan seterusnya. Klop banget kan dengan himbauan yang ada sekarang. Sebelum melangkah ke yang lain, cuci tangan dulu, baru membersihkan yang lain.
Selain harus berwudhu, untuk menjalankan shalat, pakaian yang dikenakan dan juga badan kita harus dalam keadaan suci dan bersih. Kita harus menjaga kesucian pakaian kita, sehingga apabila kita kencing misalnya, kita harus membersihkan kemaluan kita agar bersih dan juga tidak mengotori pakaian yang kita kenakan.
Bayangkan, muslim harus 5 kali menjalankan shalat, dan kita dianjurkan untuk menjaga kesucian kita dengan selalu berwudhu walaupun kita mau tidur. Berarti muslim sebagian besar waktunya harus dalam keadaan suci dari kotoran.
Pola Hidup Bersih dan Sehat
Yang digaungkan juga saat Covid-19 ini merebak adalah Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Mencuci tangan termasuk bagian dari PHBS. Pola Hidup artinya gaya hidup, kebiasaan, artinya kegiatan yang ada dalam PHBS bukan hanya dilakukan sekali-kali saja, tetapi sudah merupakan gaya hidup yang melekat yang dilaksanakan secara terus menerus.
Apa saja kebiasaan bersih dan sehat yang harus dijadikan pola hidup? Diantaranya adalah mencuci tangan dengan sabun, kebersihan toilet, kebersihan lingkungan, kebersihan diri dengan mandi dan kebersihan gigi & mulut, tidak merokok, olahraga teratu dan menerapkan pola makan yang sehat.
Semua kegiatan dalam PHBS itu sangat dianjurkan oleh Islam lengkap dengan dalil-dalilnya. Islam juga menganjurkan bahwa aktifitas bersih dan sehat harus dijadikan sebagai pola hidup (lifestyle) atau kebiasaan.
Dalam Islam ‘Kesucian adalah sebagian dari Iman!’, dan kebersihan adalah salah satu bagian untuk memperoleh kesucian. Iman artinya pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk. Seorang muslim harus menerima dan tunduk pada apa yang diperintahkan oleh yang Maha Kuasa termasuk menjaga kebersihan ini. Konsekwensinya adalah, apabila kita tidak melaksanakan berarti kita mengingkari ‘pengakuan’ kita sendiri dan sudah keluar dari Islam.
Jika lifestyle atau gaya hidup memberikan pilihan atau opsional maka untuk ‘keimanan’ kita harus patuh pada ‘aturan’ yang telah kita imani. Artinya, kebersihan dalam islam sifatnya keharusan bukan lagi pilihan!

Social atau Physical Distancing
Ini yang paling banyak digaungkan selama pandemik Covid-19. Awalnya World Health Organization memperkenalkan sebagai metode Social Distancing tetapi berubah menjadi Physical Distancing. Intinya sama, menjaga jarak, tetapi Social Distancing mempunyai pengertian terlalu ekslusif yang memberi kesan kehidupan social juga dibatasi dan memberi kesan psikologis ‘yang membebani’.
Dalam sejarah peradaban dunia, ternyata penyebaran penyakit menular dalam skala besar (pandemik) bukan yang pertama terjadi. Dan khazanah peradaban muslim, bahkan pada waktu jaman Rasulullah sendiri, mencatat banyak kebijakan yang diambil pada masa tersebut yang sekarang menjadi aktual untuk diterapkan.
Ada beberapa perkataan Rasulullah (hadits) yang secara kontekstual bermakna ‘menjaga jarak’ untuk menghndari penularan penyakit: “Hindarilah orang yang terkena lepra seperti halnya kalian menghindari seekor singa.” (HR Bukhari). Ada juga hadits yang lain “Janganlah orang yang sakit itu didekatkan dengan orang yang sehat.”
Hadits-hadits tersebut secara eksplisit menerangkan agar kita menjaga jarak terhadap orang yang mengidap penyakit yang kemungkinanya akan menularkan kepada yang lain.
Dalam Islam sangat dianjurkan untuk shalat berjamaah di Masjid. Dan pada waktu shalat berjamaah tentunya akan berkumpul ratusan bahkan ribuan orang dalam satu masjid, yang akan membuat penularan penyakit akan semakin mudah disaat pandemik seperti sekarang.
Walaupun menjadi anjuran yang sangat kuat untuk shalat berjamaah di Masjid, tetapi Islam membolehkan shalat dirumah ketika shalat berjamaah di masjid membawa resiko tinggi untuk dilakukan.
Dalam sebuah hadits pernah diriwayatkan: ‘Di suatu malam yang dingin, Ibnu ‘Umar mengumandangkan adzan ketika hendak sholat di Dajnan dan mengatakan Shalu fi rihaalikum (sholatlah di rumahmu). Dia mengatakan, Rasulullah SAW pernah menyuruh muadzin mengumandangkan Shalu fi rihaalikum (sholatlah di rumahmu) saat adzan di malam yang hujan atau sangat dingin dalam perjalanan.’ (HR Bukhari).
Karantina Wilayah atau Lockdown
Suatu hadits atau firman Al Quran biasanya menjadi viral bila hadits tersebut dipakai menjadi dasar suatu kebijakan atau peristiwa itu sesuai dengan sebab terjadinya hadits atau firman tersebut diturunkan. Banyak hadits yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya, tetapi ketika ada peristiwa yang berkenaan dengan hadits tersebut, kita menjadi tahu.
Demikian juga ketika hadits tentang lockdown tiba-tiba berseliweran di timeline medsos. Saya termasuk orang yang ‘gak percaya begitu saja’ ketika hadits itu muncul. Maklum jaman hoax, kadang dicari-cari dan dicocokologi gitu. Tapi hadits tentang lockdown benar-benar membuat saya terpesona pada ajaran Islam, keren nih hadits, isinya benar-benar tidak perlu dijelaskan lagi karena eksplisit artinya mengenai lockdown bila terjadi wabah penyakit:
Hadits tersebut adalah:
Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari)

Sosiolog Nasrani dari Rice University, Houston, Texas Dr Craig Considine, memberikan penjabaran yang mengungkapkan pendekatan yang sangat rasional dari ajaran Islam terhadap penanganan suatu wabah penyakit, yang dimuat dalam majalah Newsweek edisi 17 Maret 2020.
Banyak orang yang kadang terlalu meremehkan pandemik Covid-19 ini dan berlindung dengan kata-kata ‘Saya percaya kepada Allah, kalo memang sakit ya sakit!’, yang kelihatannya ‘beriman’ banget dan mengabaikan usaha.
Craig Considine sangat tidak setuju dengan pendapat tersebut, dan bahkan Nabi Muhammad sendiri-pun tidak akan berpikir seperti itu. Diceritakan bahwa suatu hari Nabi Muhammad bertanya kepada orang Badui yang waktu itu meninggalkan kendaraan Onta-nya tanpa menambatkannya. Rasulullah bertanya “Mengapa kamu tidak menambatkan Onta-mu sementara kamu meninggalkannya?”, dan orang Badui itupun menjawab “Saya percaya dan tawakal kepada Allah!”, maka Rasulullah-pun berkata “Tambatkan dulu Onta-mu baru kamu kemudian bertawakkal kepada Allah!”. Itulah ajaran Rasulullah, berusaha dahulu baru kemudian kita bertawakkal.
Dalam artikelnya yang berjudul: Can the Power of Prayer Alone Stop a Pandemic Like the Corona Virus? Even the Prophet Muhammad Thought Otherwise Opinion (Apakah dengan Kekuatan Doa Saja Dapat Menghentikan Pandemik Corona Virus?, Bahkan Nabi Muhammad-pun Tidak Akan Berpikir Demikian), banyak memberikan gambaran bahwa ajaran Islam yang telah ada 14 abad silam banyak memberikan solusi terhadap penanganan pandemik penyakit.