
Wabah Covid-19 adalah sejarah. Sangat sedikit orang yang pernah mengalami hal yang sama dengan wabah ini sebelumnya. Konon antara tahun 1918 – 1920, terjadi wabah flu Spanyol (Spanish Flu Pandemic), kejadian 100 tahun yang lalu, hanya beberapa gelintir saksi sejarah yang masih hidup saat ini.
Tiba-tiba kita gak boleh kemana-mana, harus jaga jarak kalau ketemu orang dan kemana-mana pakai masker. Dan yang bikin kesal, musuh yang kita hadapi berukuran nano, tak kasat mata, sehingga kadang kita gak yakin, bener ada gak nih virusnya? Dan orang seakan abai, menganggap Corona hanya isapan jempol, atau hanya menyerang orang tertentu, atau hanya di negara tertentu dan kita aman-aman saja.
Awalnya, saya masa bodoh, peduli amat dan emang gue pikirin dengan Corona ini, paling kayak waktu flu burung, SARS ataupun MERS, hanya menyerang daerah tertentu saja, entar lagi juga hilang. Baca berita kalo Wuhan di-lockdown tanggal 23 Januari 2020, biasa-biasa aja. Ada banyak berita bertebaran di Medsos mengenai kondisi Wuhan, dengan bumbu-bumbu hiperbola, dengan banyak video dan berita heboh, dan seperti kebiasaan saya, video kalo saya dapat dari medsos kebanyakan gak saya buka, berita heboh juga saya anggap biasa saja, tradisi medsos yang suka melebih-lebihkan.
Tapi kemudian semua berubah, akhirnya masuk ke Indonesia juga. Pun juga saya tidak terlalu hirau, ah biasa berita sesaat, ikut trend yang ada di China, paling juga hilang sendiri. Nah, pertengahan Maret 2020 saya yang jadwal harusnya kembali bertugas ke lapangan di Jambi, tiba-tiba gak boleh kembali kerja karena alasan Corona.
Dan sekarang sudah masuk bulan ke-2, whattt, ini gak main-main, mulai dalam diri ada pergolakan jiwa, perubahan mindset, nilai pembelajaran dari #DiRumahAja yang terbentuk dari wabah Corona ini dari kronologis mulainya pandemic:
Fase Euphoria:
Tanpa konfirmasi sebelumnya, tiket saya untuk kembali kerja sudah diubah, ditambah 2 minggu dengan alasan Covid-19. Harusnya 19 Maret 2020 sudah kembali ke lapangan, tapi tanggal 18 Maret diinfokan kalau tiket di-reschedule ke awal April 2020.
Terus terang, begitu disuruh gak masuk kerja, gak usah kembali kerja, rasanya girang banget. Yah, kalau mau diandaikan, seperti anak sekolah disuruh pulang cepat karena gak ada gurunya! Kita seolah dapat bonus liburan, wah asyik nih, bisa begini bisa begitu.
Kebijakan pemerintah masih longgar, hanya Pemprov DKI aja yang heboh, nutup tempat wisata dan meliburkan sekolah, berlanjut ke tempat ibadah. Pemprov DKI awalnya dicibir, termasuk saya yang melihatnya sebagai over reaktif, tapi kemudian kita melihat bahwa kebijakan DKI banyak diikuti oleh pemerintah pusat.
Selama ini, saya 2 minggu kerja di lapangan, kemudian 1 minggu jatah libur. Jauh lebih lama ketemuan dengan rekan kerja daripada istri di rumah. Asyikkkk, dapat tambahan liburan! Bayangan kita waktu itu paling lama dua minggu-lah, pas buat nambahin waktu kangen suasana rumah!
Fase Krisis dan Bosan Melanda:
Fase Euphoria gak lama. Telpon ke kantor konfirmasi mau kembali ke lapangan. Beritanya bikin shock, gak boleh kembali kerja untuk semantara waktu! Saya tanya, sampai kapan? Jawabannya gak jelas.
Mulailah bingung dan melihat ketidak pastian. Hadeh, mau ngapain selama dirumah. Bosan mulai melanda, merasa tidak produktif dan mulai mati gaya. Apalagi berita tambah serem-serem! Walaupun tinggal dirumah, kita gak boleh bebas-bebas amat, lebih mirip penjara rumah malah.
Keseringan dengerin berita update korban Covid-19, jadi lebih parno. Mulai stok sembako dan mulai pesan masker dan desinfektan yang harganya tinggi gak masuk akal. Oh ya, beli sarung tangan juga, ada yang plastic dan latex, harganya masih normal. Saran saya, bagi pembaca yang belum beli sarung tangan cepetan beli ya, harga murah tapi manfaat jelas.
Pada fase krisis ini kebanyakan do nothing, ngerjain kerjaan rumah rasanya udah semua. Baca buku sudah bosen (ternyata banyak buku yang selama ini saya beli saja tapi tidak dibaca!, hehehe). Setiap bangun pagi, mikir, nih sampai kapan? Sementara, bukannya semakin longgar, Pemerintah dan Daerah malah semakin ketat bikin aturan. Kalau awalnya DKI aja yang ketat, daerah seputaran DKI juga memperketat aturan. Bosan sudah diubun-ubun, apa gunanya punya banyak waktu kalau hanya dirumah!
Fase Recovery:
Menunggu sesuatu yang tak tahu pasti kapan berakhir, sementara kita mempunyai banyak waktu dirumah, kita merasa useless dan tidak produktif. Mulai timbul kesadaran, wah ini harus berbuat sesuatu!
Mulai buka tips-tips mengisi waktu lockdown! Mulai meninggalkan acara TV jam setengah empat sore, saat Jubir Gugus Tugas menyampaikan update jumlah korban terkini yang malah bikin stres.
Rasanya kok kompakan seluruh dunia ya, banyak medsos dan TV menampilkan acara beragam aktifitas yang bisa dikerjakan selama dirumah dari berbagai negara. Banyak tips dan motivasi untuk meneguhkan sikap kita agar bertahan. Webinar untuk mengisi waktu luang juga bermunculan. Salah satu motivasi, Isaac Newton menemukan teori gravitasi, teori kalkulus dan serangkaian postulat mengenai optik justru waktu lockdown. Wah kalo ngebandingin dengan Isaac Newton kok kejauhan ya, hahaha.
Saya mulai menyusun agenda yang agak jangka panjang. Salah satunya nanam sayuran, tanaman yang dalam waktu mingguan sudah bisa dipanen. Bersihkan tempat usaha ikan yang terbengkalai, sambil merencanakan untuk mencoba usaha baru di lahan yang sama. Menulis, keinginan yang hilang timbul yang harus sering ditimbulkan nih dimasa lockdown. Kontak-kontak teman untuk peluang kerjasama.
Waktu ke toko pertanian untuk beli bibit dan aneka saprotan (sarana produksi pertanian), ternyata banyak wajah-wajah gagap bertani yang juga beli barang yang sama, hhhmmm, sepertinya juga baru bangkit dari tidur, dan ingin membuat waktunya produktif.
Saya merasa, saat ini saya berada pada posisi recovery. Posisi memulai kegiatan produktif sambil jaga-jaga kalo pandemik ini lebih lama dari perkiraan. Apabila sesuatu yang kau senangi tidak terjadi maka senangilah apa yang terjadi!
Harapannya, kegiatan produktif ini juga menjadi ladang usaha baru kalau sudah pensiun.
Fase Adaptasi (?):
Dalam setiap masa, di sektor usaha atau bisnis, pasti ada yang posisinya lagi jaya-jayanya tapi ada juga yang bener-bener lagi dibawah. Wabah Covid-19 ini membawa analisa bisnis jungkir balik.
Pola pikir seakan dipaksa berubah mengikuti gaya hidup yang harus beradaptasi dengan kenyataan.
Millennial yang banyak membawa trend pasar, juga harus beradaptasi. Yang biasanya ngumpul di kafe, tiba-tiba kafe harus tutup, tempat wisata yang biasanya rame, sekarang jadi sepi dan banyak membawa pengaruh pada rentetan usaha pendukung lainnya.
Sementara alat kebersihan dan kesehatan kosong di rak-rak toko, kalo stok ada, pembelian dibatasi dan dengan harga yang mahal. Antis, antiseptic cair yang biasanya mudah didapat di toko-toko, hilang dari pasaran bersamaan dengan merk desinfektan lainnya. Alat pengukur suhu, masker dan sarung tangan juga melejit.
Untuk sementara waktu, masyarakat hanya mengutamakan kebutuhan dibandingkan dengan keinginan. Kebutuhan pokok harus tersedia, seperti beras, telur, minyak, buah-buahan dan nutrisi tambahan, sedangkan keinginan sekunder ditunda dulu. Pembeli inginnya diantar, tidak datang ke toko.
Video conference harus dibiasakan. Kesadaran masyarakat untuk lebih sering cuci tangan akan meningkat. Dan memakai masker nantinya akan menjadi kebiasaan baru yang semakin banyak follower-nya. Di negara maju, di bandara atau pusat pertokoan sudah banyak orang yang memakai masker meski tidak sedang pandemic Covid-19, karena mereka sadar ada banyak penyakit yang ditimbulkan dari interaksi banyak orang sejenis Covid-19 seperti pneumonia, ISPA, TBC dan meningitis.
Ada banyak teropong dari para ahli kapan kehidupan normal akan kembali. Yang sudah ditetapkan, tidak ada penerbangan local dan juga transportasi lokal selama bulan Mei 2020 ini. Sangat beresiko jika pemerintah membiarkan lalulintas interaksi jutaan orang di masa mudik setelah lebaran ini. Artinya, bulan Mei 2020 ini, sudah pasti kita masih #DiRumahAja. Bulan Juni 2020 kok rasanya masih fifty-fifty ya, banyak analisis mengatakan Mei akan menjadi puncak pandemik di Indonesia dan Juni mulai menurun. Kalopun mulai menurun, kewaspadaan masih harus tinggi, bahaya serangan gelombang kedua dan lainnya. Kok rasanya paling cepat Juni – Juli 2020 baru mulai dilonggarkan. Analisa moderat, mengenai fase-fase ini, katanya kita benar-benar bebas di Maret 2021.
Alamak, lama nian!!!
Mau gak mau kita harus beradaptasi, dan usaha harus bertransformasi sesuai keadaan. Hhhmmmm, saya mau nulis apa ya, hehehehe. Ada banyak pemikiran berkecamuk di otak, bahwa kedepan tantangan akan semakin besar, ada modifikasi cara menjalankan usaha yang harus diubah, tingkah laku pasar yang juga berbeda dan menemukan apa yang dibutuhkan oleh mereka dan itu semua harus kita jalani. Tidak mudah, tapi intinya: Adapt or die!
Bogor, 1 Mei 2020 (Hari ke-44 #DiRumahAja)