Betapa kayanya Indonesia-ku…

bki_pantai

Setiap perjalanan ke Jambi, menuju tempat kerja, saya merasakan betapa kayanya Jambi. Jambi adalah salah satu daerah penghasil migas. Dari perut bumi Jambi, jutaan barrel minyak dan gas dikeluarkan, menghasilkan pendapatan negara yang tidak sedikit.

Diatasnya adalah lahan subur yang hampir bisa ditanami apa aja. Tongkat saja bisa menjadi tanaman, seperti lagu lebay-nya Koes Plus, untuk menggambarkan betapa suburnya tanah Jambi. Tetapi sayangnya (menurut saya), keanekaragaman hayati yang telah digusur dari ratusan ribu hektar hutan yang dikonversi menjadi lahan tanaman industri (pohon Akasia, untuk bahan baku kertas, utamanya untuk PT Wira Karya Sakti, Sinar Mas Group) hanya menghasilkan kayu-kayu yang diolah menjadi pulp dan kertas.

Menyisakan lahan yang sedikit, beragam jenis tanaman yang dijadikan sumber penghidupan masyarakat Jambi. Sebagian besar Kelapa Sawit, juga ada Kelapa, Pinang, Karet, Kopi dan tanaman kebun lainnya. Ada juga beragam rempah dan tanaman sayur. Hamparan sawah, dengan padi menghampar juga banyak terdapat di Jambi. Buah-buahan juga banyak, saya paling senang berada di Jambi jika musim Durian, hobi makan Durian terpenuhi dengan harga yang murah, dan setelah musim Durian biasanya musim Duku. Buah-buahan lain seperti Rambutan, Pisang, Nangka dan Jambu Air juga tumbuh dengan subur.

Mungkin anda mendengar, peribahasa ‘Bagai mendapat Durian runtuh’. Ternyata, memang begitu adanya. Di Jambi, pohon Durian banyak tumbuh dengan sendirinya (tidak dibudidayakan), dan apabila telah musim Durian, biasanya beberapa orang mendirikan pondok di sekitar lahan yang banyak tumbuh pohon Durian itu, kemudian apabila telah matang, Durian itu rontok dengan sendirinya, dan kemudian dikumpulkan untuk dijual. Namun sekarang, ‘Durian runtuh’ karena matang pohon sudah tidak banyak lagi, kebanyakan Durian dipetik dan dimatangkan diluar.

Saya senang mendengarkan cerita-cerita teman asli dari Jambi, yang bercerita mengenai Jambi jaman dahulu. Di sekitar tahun 1990-an sampai menjelang tahun 2000, ketika area Hutan masih ada belum tergusur oleh tanaman industri, Gajah, Harimau, Babi Hutan, Kijang dan hewan hutan lainnya masih banyak berkeliaran. Saya membayangkan, betapa mengerikannya pembantaian yang dilakukan terhadap jutaan binatang itu, ketika hutan rumah tinggal mereka mau dikonversi menjadi hutan tanam industri, pohon Akasia.

Hutan tanam industri, merupakan hutan monokultur, pohon Akasia saja yang tumbuh. Yang tidak memberikan makanan bagi hewan-hewan liar. Sisa hutan lindung di Jambi sangat sedikit. Sehingga, binatangnya juga sudah jauh berkurang. Sesekali saya melihat ular yang besar (pernah lihat ular melintas dengan panjang lebih dari 2 meter), monyet yang bergelantungan, buaya didaerah air payau, ataupun burung-burung yang indah beragam jenis. Teman saya yang di Jambi ada yang hobi berburu, katanya sering ia berburu Kijang dan Babi Hutan.

Teman saya juga bercerita, pada waktu awal ia bekerja di Jambi, dan musti kelapangan, ia masih sering melihat ada Gajah dan Harimau. Pada waktu penggundulan hutan disekitar tahun 1997 – 2000, ia melihat betapa banyaknya isi hutan yang dikuras, pohon-pohon besar berukuran 3 – 4 lingkaran orang dewasa, dengan panjang sampai puluhan meter. Pantaslah kalo dunia protes kala itu, tapi Indonesia beralasan, bahwa hutan harus memberikan manfaat ekonomi disamping sebagai paru-paru dunia.

Dan sekarang, saya hanya melihat sisa-sisanya saja…

Hutan yang tinggal sedikit masih memberikan manfaatnya bagi manusia. Di Jambi terkenal dengan Madu Hutannya. Mereka, para pengrajin, mengambil madu langsung dari hutan, tidak membudidayakannya seperti kebanyakan di Jawa. Jumlahnya sudah makin sedikit, dan kadang mencari yang benar-benar asli madu hutan tanpa campuran sudah sangat sulit.

Kadang saya lihat juga beberapa orang masuk ke hutan untuk mengambil rotan. Yang dikumpulkan untuk kemudian dijual dijadikan bahan baku perabotan ataupun tali. Di beberapa rumah makan Padang, kadang tersedia menu burung Punai. Saya pernah mencobanya, enak, hampir sama dengan burung Merpati tetapi lebih keras sedikit. Burung Punai tidak diternakkan, tetapi mereka mendapatkannya langsung dari berburu di hutan. Ada juga rumah makan yang menyediakan daging Rusa, yang menurut saya sangat enak, dagingnya empuk. Rusa juga didapat dari berburu dihutan.

Kayu di Jambi juga beragam. Ada namanya kayu Bulian, ukurannya tidak terlalu besar, tetapi lurus dan sangat kuat. Apabila dijadikan tonggak rumah panggung, kayu Bulian sangat tepat, ia tahan pada air, tidak lapuk. Tahan hingga puluhan tahun.

Hasil lautnya juga melimpah. Saya banyak mencoba beragam ikan laut di Jambi. Ada ikan Senangin, ikan Ekor Kuning, juga udang yang besar dan lainnya. Di Jambi banyak Kampung Nelayan, yang biasanya berupa rumah panggung di pesisir pantai. Katanya, hasil laut nelayan banyak yang tidak sampai ke daratan Jambi, karena udah dibeli pedagang Singapore pada waktu dilautan. Wah, gak perlu masarin sudah langsung laku. Yang tersisa biasanya sudah bukan kualitas yang terbaik, dan itu yang banyak dijual untuk konsumsi lokal. Kalo di biasanya didaerah daratan Jambi penduduknya jarang, tapi tidak dengan kampung nelayan yang banyak terdapat di dipesisir pantai. Kampung nelayan, biasanya berupa rumah panggung dan sangat padat.

Disamping pertanian, peternakan juga bisa dengan mudah berkembang di Jambi. Saya banyak melihat peternak sapi skala rumahan atau kelompok tani di Jambi. Satu kelompok memelihara beberapa ekor sapi, dan anggota bergiliran mencari rumput dan tanaman untuk makanan sapinya. Lahan di Jambi masih banyak yang belum dioptimalkan dan menjadi lahan tidur. Sangat mudah mencari rumput dan tanaman untuk makanan sapi. Sementara Indonesia masih impor daging sapi untuk kebutuhan dalam negeri. Sebuah paradoks!

Dari perut buminya mengalirkan jutaan barrel migas, daratannya semua tumbuhan dapat tumbuh dan berbagai komoditi mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dan lautannya juga kaya. (Harusnya) penduduknya sudah makmur!

Tapi, saya tidak melihat kemakmuran di Jambi yang harusnya sebanding dengan kekayaan alamnya. Di Tanjung Jabung Timur dan Barat, yang merupakan dua daerah penghasil migas terbesar di Jambi, angka kemiskinannya juga paling tinggi di Jambi.

Miris, setiap hari dikota Tanjung Jabung Barat dan Timur pasti ada pemadaman listrik bergilir. Saya tanya-tanya ke warga, dalam sehari katanya biasanya antara 3 – 5 jam lampu mati. Bayangkan jika hal itu terjadi di Jawa, semua sudah protes, dan media-pun akan ramai memberitakan. Tapi ini (hanya) terjadi di Jambi, yang tidak perlu diberitakan, media hanya menyoroti politik yang tidak berkesudahan. Bayangkan, Jambi yang merupakan lumbung energi, tetapi tiap hari PLN-nya byar pet!!

Sepertinya ada yang salah dengan negeri ini…

Jambi adalah lumbung energi. Migas dari Tanjung Jabung Barat dan Timur sebagian besar dialirkan untuk menerangi Singapore, sementara kedua daerah tersebut tiap hari padam bergiliran. Ada beberapa kontraktor migas di Jambi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mengeksploitasi kekayaan bumi Jambi, mereka tentu gak bisa disalahkan. Kontraktor migas hanya bergerak sesuai dengan keinginan pemerintah, kemana hasil migasnya akan dialirkan. Ternyata pemerintah sudah terikat kontrak untuk penjualan gas dengan Singapore. Sehingga semua gas dijual ke Singapore, sementara daerahnya sendiri hanya mendapatkan gas sisa (flare gas) yang merupakan sisa gas yang dimanfaatkan daripada terbuang percuma.

Negara selama ini hanya menjual bahan mentah saja ke negara lain. Dan itu hanya memberikan kekayaan kepada negara lain, sedangkan sebagai negara penghasil bahan mentah terus berkubang dalam kemiskinan.

Migas adalah bahan mentah. Seharusnya tidak dijual begitu saja. Bayangkan, migas merupakan energi, dengannya dapat dijadikan sumber energi powerplant untuk mengaliri listrik bagi ratusan ribu rumah dan pabrik. Semua kegiatan ekonomi sangat tergantung pada listrik. Dengan listrik, industri mulai dari skala rumahan sampai besar akan tumbuh. Pendidikan, kesehatan, ketahanan dan keamanan juga sangat tergantung pada sumber energi yang memadai. Sangatlah lucu jika Tanjung Jabung Barat dan Timur bisa menerangi kota Singapore tetapi daerahnya sendiri sering dalam keadaan gelap gulita.

Jambi adalah penghasil Pinang. Bahkan asal kata Jambi, berasal dari Jambe, yang artinya pohon Pinang. Meski Jambi sudah melekat namanya dengan Jambe, dan berarti sudah lama dikenal sebagai penghasil Pinang, tapi sampai saat ini Jambi hanya mengirimkan biji Pinang saja untuk diekspor. Tidak ada nilai tambah lainnya!

Dinegara pengimpor biji Pinang seperti India, Pakistan dan Thailand, biji Pinang diolah untuk menjadi bedak, bahan baku kosmetik, bahan baku obat-obatan herbal dan juga dikonsumsi langsung. Kenapa sebagai penghasil Pinang tapi sampai sekarang Jambi hanya menjual biji Pinang saja? Kenapa tidak ada industri pengolahan Pinang di Jambi? Bukankah logikanya jika ada industri pengolahan biji Pinang, seharusnya bisa lebih bersaing karena bahan bakunya sudah ada di Jambi sehingga lebih murah dibandingkan dengan India dan negara lainnya.

Jambi juga terkenal dengan Kopra. Disamping diambil minyaknya, Kopra juga diolah untuk makanan ternak. Kopra dari olahan Kelapa. Sering dikatakan, tidak ada yang tidak berguna dari pohon Kelapa, tidak ada yang tersisa! Mulai akar, batang, daun dan buahnya. Untuk buahnyapun, mulai dari lapisan kelapanya yang dijadikan Kopra, airnya yang dijadikan minuman isotonik dan buat agar-agar, batoknya, juga sabut dan seratnya bermanfaat. Bahkan, pada waktu dibakarpun, arang batok kelapa, asapnya ‘ditangkap’ untuk dijadikan asap cair yang mempunyai beragam manfaat.

Tapi potensi dari pohon Kelapa di Jambi, lebih banyak yang terbuang. Yang banyak dimanfaatkan adalah daging buahnya yang dijadikan Kopra dan batok kelapa yang dijadikan arang. Kopra juga lebih banyak diekspor dalam bentuk bahan mentah, untuk kemudian dijadikan minyak dan pakan ternak. Sedangkan daging (cocopeat) dan serat sabut Kelapa (cocofiber) hanya terbuang percuma. Cocopeat dan cocofiber mempunyai beragam manfaat, seperti untuk media tanam, bahan tali, bahan kerajinan, kasur dan jok mobil, bahan akustik, bata, papan dan lainnya. Apabila ada, sebagian besar cocopeat dan cocofiber yang ada di Indonesia, kebanyakan diekspor sebagai bahan baku untuk pembuatan produk-produk lainnya di negara-negara lain seperti India, Pakistan dan China. ‘Rayuan Pulau Kelapa’ yang merupakan julukan bagi Indonesia karena mempunyai potensi pohon Kelapa disetiap pesisirnya, ternyata bukanlah raja yang menguasai pasar dunia dengan produk-produk derivatif dari pohon Kelapa.

Contoh yang kontras tapi nyata: Indonesia setiap tahun menjual 3 juta lembar kulit ular dan buaya, dengan pendapatan hanya Rp 90 Milyar setahun. Singapore, memberi nilai tambah dengan menyamaknya terlebih dahulu kulit reptil tersebut sebelum dilempar kepasaran dunia, dan bisa memberikan pendapatan Rp 9 Trilyun. Dan negara-negara seperti Perancis, Italia dan Eropa lainnya menjadikan kulit reptil ini sebagai bahan dasar untuk pembuatan tas-tas edisi terbatas seperti Hermes, Louis Vuitton dan Gucci. Kulit reptil yang dijadikan bahan dasar tas tersebut dibuat bermutu tinggi, karena telah dilapisi polyurethane dengan semprotan indah warna-warna dari teknologi nanopartikel, dan Perancis mendapatkan ratusan trilyun darinya.

Kulit ular phyton atau buaya yang dijual ke Singapore oleh pemburu reptil di Indonesia dan dihargai ratusan ribu rupiah saja, bisa jadi telah menjelma menjadi tas Hermes yang dihargai sampai Rp. 900.000.000,- hanya untuk satu buah tas, sedangkan untuk tas Hermes yang belum di nanocoating masih laku dan diburu walau dengan harga Rp. 240.000.000,- perbuahnya.

Dari dulu Indonesia hanya membuat kaya negara lain, sedangkan warganya sendiri banyak yang hidup dalam kemiskinan. Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam, hanya mengekspor barang mentah ke negara lain. Negara lain, meski tidak mempunyai sumber daya alam yang besar, bisa memberikan nilai tambah pada bahan mentah tersebut menjadi barang yang bernilai ekonomis jauh lebih tinggi.

Dari dulu Indonesia hanya membuat kaya negara lain, sedangkan warganya sendiri banyak yang hidup dalam kemiskinan. Sungguh ironi, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat besar, dengan jumlah penduduk yang juga sangat besar, terbanyak no 4 sedunia. Untuk tenaga kerja, yang seharusnya bisa berkarya di Indonesia, Indonesia juga mengekspornya keluar negeri sebagai ‘bahan mentah’, dengan menjadikan mereka TKI dan TKW. Di negara tujuan TKI dan TKW, mereka adalah tenaga produktif, menjadi karyawan di perusahaan-perusahaan di negara tersebut, ataupun menjadi pembantu rumah tangga. Tenaga produktif yang seharusnya bisa menjadi penunjang pembangunan di Indonesia, malah diekspor keluar negeri, menjadi sumber daya manusia negara lain sehingga meningkatkan produktifitas negara tersebut.

Dari dulu Indonesia hanya membuat kaya negara lain, sedangkan warganya sendiri banyak yang hidup dalam kemiskinan. Selama lebih dari 300 tahun dijajah oleh VOC Belanda, Indonesia telah membuat Belanda kaya raya. Pada saat mereka menjajah Indonesia, pembangunan infrastruktur di Belanda sangatlah gencar. Lihatlah gedung-gedung yang ada di Belanda, yang dibuat antara tahun 1600 – 1900, masa ketika mereka menjajah Indonesia, gedung-gedung itu banyak bertebaran di Belanda, dan itulah hasil penjajahan mereka di Indonesia.

bki_stasiun-jakartaGambar: Kemegahan Stasiun Jakarta Kota peninggalan Belanda

Kalau mau dibandingkan antara jaman penjajahan Belanda dulu dengan jaman kemerdekaan kini, meski Indonesia telah diperas habis kekayaannya, dari segi materi, mungkin Indonesia lebih kaya waktu jaman penjajahan dulu. Infrastruktur peninggalan jaman penjajahan masih gagah mentereng berdiri, seakan mengejek infrastruktur yang dibuat jaman sekarang yang kondisinya sangat ringkih. Stasiun Kereta Api dan rel kereta yang sampai sekarang masih terlihat megah, jalan-jalan raya, jembatan-jembatan, fasilitas umum sekolah dan perkantoran, pabrik-pabrik pengolahan hasil sumber daya alam seperti Pabrik Gula, Pabrik Teh, Pengolahan Tembakau dan lainnya. Dan ingat, pada waktu jaman penjajahan belanda dulu, Indonesia tidak punya hutang, sedangkan sekarang Indonesia adalah negara penghutang terbesar dengan jumlah hutang ribuan trilyun!

bki_stasiunjakartaGambar: Stasiun Jakarta Kota tempo dulu.

Tidak ada salahnya kita meniru Belanda dalam mengeksploitasi dan mengatur kekayaan alam di negara ini. Hanya bedanya, orientasinya yang harus dirubah. Kalau dahalu Indonesia dikeruk kekayaannya kemudian hasilnya dibawa ke negara Belanda, sekarang hasil eksploitasi kekayaan itu dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kepiawaian penjajah Belanda dalam mengeksploitasi dan mengatur kekayaan alam di Indonesia ini membuat Indonesia dikenal dunia sebagai eksportir terbesar untuk: gula, kopi, teh, coklat, tembakau dan rempah-rempah.

Untuk daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah misalnya, difokuskan untuk menjadi sentra penghasil gula. Banyak sekali Pabrik Gula yang didirikan di daerah Jawa Timur, kabupaten Mojokerto, Sidoarjo, Jombang, Malang, Tulung Agung dan Pasuruan merupakan kabupaten penghasil gula yang ditandai dengan puluhan pabrik gula yang ada didaerah tersebut. Banyak dari pabrik-pabrik gula tersebut masih beroperasi sampai sekarang. Kalau dilihat dari sisa-sisa gedung yang ada, terlihat betapa pabrik tersebut merupakan state of the art pada jamannya. Dan untuk mengangkut hasil tebu dari perkebunan, dibuat alat trasnportasi berbasis rel yaitu lori-lori, yang mengangkut tebu langsung menuju pabrik gula. Sebuah pabrik yang telah terintegrasi dan dipikirkan matang-matang dalam perencanaan pembuatannya. Sekarang? Bukannya pabrik gula semakin bertambah, tetapi malah pabrik gula peninggalan Belanda yang ada semakin banyak yang tutup tidak beroperasi. Dan Indonesia dari negara pengekspor gula menjadi negara pengimpor gula.

bki_pg-kebon-agungGambar: Pabrik Gula Kebun Agung Malang peninggalan Belanda yang telah direnovasi.

Sistem ‘Cultuur Stelsel’ atau ‘tanam paksa’ yang dibuat oleh penjajah Belanda, mengharuskan petani Indonesia menanam tanaman komoditas ekspor sesuai dengan yang ditentukan oleh Belanda. Sistem ini menuai sukses besar dan membuat kerajaan Belanda kaya raya, bahkan ada referensi yang mengatakan, pada saat kejayaannya, pendapatan Belanda disumbang 70% dari Indonesia (Oost Indische, Hindia Belanda) pada tahun 1831-1871, yang menyelamatkan Belanda dari krisis karena perang dan membangun infrastruktur di negerinya. (http://www.markijar.com/2015/10/sistem-tanam-paksa-lengkap-penjelasan.html).

Ada beberapa filosofi ‘cultuur stelsel’ yang baik dan perlu diperhitungkan untuk dilaksanakan lagi, dengan penyesuaian dan harus berorientasi untuk kemakmuran rakyat. Pada cultuur stelsel, penjajah Belanda memaksa petani untuk menanam jenis tanaman tertentu untuk diekspor. Seperti pada cultuur stelsel, seharusnya pemerintah yang mengarahkan komoditas apa yang akan ditanam oleh petani. Pemerintahlah yang mempunyai data komoditas apa yang diperlukan untuk memenuhi pasar dalam negeri dan juga untuk memenuhi pasaran ekspor. Disamping itu juga, pemerintahlah yang mempunyai data hasil analisa, jenis tanaman apa yang sesuai dengan daerahnya.

Untuk daerah Jambi misalnya, sekarang banyak ditanami dengan kelapa sawit. Harga kelapa sawit pernah mencapai kejayaan dengan harga TBS (tandan buah segar) yang tinggi perkilonya, tetapi sekarang, dengan banyaknya petani yang menanam kelapa sawit membuat harga TBS kelapa sawit anjlok, karena jumlahnya melimpah. Jumlah kelapa sawit yang melimpah tidak diiringi dengan pembuatan pabrik pengolahan kelapa sawit (menjadi minyak), yang bisa menampung hasil kelapa sawit dari petani. Akibatnya produk jadi melimpah, harga anjlok dan petani rugi. Sementara sudah banyak petani yang mengalihkan lahannya menjadi kebun kelapa sawit, karena tergiur keuntungan dari menanam kelapa sawit pada saat harga TBS masih tinggi. Dulu, daerah Tanjung Jabung Timur, dikenal dengan daerah penghasil padi. Tetapi karena konversi lahan menjadikan hamparan sawah padi disulap menjadi perkebunan kelapa sawit. Dan sekarang, harga komoditi kelapa sawit rendah sedangkan Indonesia malah mengimpor padi untuk konsumsi dalam negeri. Petani Indonesia semakin menderita, bukan karena mereka tidak bekerja keras, tetapi karena mereka tidak tahu komoditi apa yang tepat untuk ditanam, mereka tidak diarahkan!

Pada jaman penjajahan Belanda, VOC Belanda bertindak sebagai marketing dari hasil-hasil pertanian dan perkebunan. Seharusnya, sekarang, pemerintahlah yang bertindak sebagai tenaga penjual dari produk pertanian dalam negeri. Petani hanyalah orang yang mempunyai lahan dan mempunyai semangat untuk bekerja keras mengolah lahannya. Petani tidak tahu kebutuhan pasar dan juga tidak mengetahui pasar mana yang memerlukan produknya. Petani, adalah seorang pekerja keras yang tahu bagaimana cara mengolah tanahnya dan merawat tanamannya, tapi mereka tidak tahu bagaimana cara memasarkannya.

Pemerintahlah yang tahu, negara mana yang mempunyai kebutuhan komoditi pertanian tertentu. Indonesia, yang mempunyai lahan yang luas dengan sumber daya manusia yang terbanyak bekerja di sektor pertanian, tentunya bisa memenuhi kebutuhan komoditi pertanian bila diatur dengan baik.

Mungkin, untuk tahap pertama, gak usahlah bermimpi indah untuk memenuhi kebutuhan ekspor, fokus dulu pada kebutuhan dalam negeri yang juga besar. Indonesia sampai sekarang adalah negara pengimpor: gula, bawang, beras, jagung, daging, gandum dan buah-buahan.

Jambi hanya salah satu contoh. Masih banyak daerah lain di Indonesia yang mempunyai potensi sumber daya alam yang tak kalah besar tetapi masih menjadi lahan tidur.

Betapa kayanya negeri ini, sehingga telah banyak membuat negara lain kaya. Belanda jaya karena Indonesia, ribuan trilyun uang di Bank-Bank Singapore dan negara lainnya hasil dari pengusaha mendapatkan kekayaan dari bumi Indonesia. Belum lagi para koruptor trilyunan yang uangnya rahib dibawa pergi keluar Indonesia, juga hasil dari kekayaan bumi Indonesia.

Indonesia sangat kaya sumber daya alam negaranya, tetapi belum sejahtera penduduknya!

Iklan
Pos ini dipublikasikan di Opini, Perjalanan dan tag , . Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s